Orang Yang Benar
Habakuk 2 : 4
Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya
Dalam nas ini Habakuk dipanggil menjadi nabi di tengah-tengah keadaan umat Israel yang memberontak melawan Allah. Babel sebagai negara adikuasa pada waktu itu , dipakai Allah sebagai alat penghukuman. Akibatnya Yerusalem diserang, perabotan Bait Allah dijarah, dan 10.000 orang Yahudi dibawa selaku tawanan ke Babel. Hal ini membuat Habakuk menjadi bingung (baca Habakuk 1:12-13)
Nabi Habakuk mengeluh tentang kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia merasa seolah-olah orang fasik menelan orang yang benar (Habakuk 1:13). Allah menjawab keluhan Habakuk dengan mengatakan bahwa Dia berharap supaya umat-Nya bersikap “benar” dan hidup dengan iman. Dia tidak ingin mereka menjadi seperti orang yang “membusungkan dada” dan “tidak lurus hatinya” (2:4). Orang yang sombong dan terlalu percaya diri akan mencari-cari alasan atas kesalahan yang ia perbuat dan atas ketidaksempurnaannya. Ia tidak ingin mengakui bahwa dirinya membutuhkan Allah. Jalan hidupnya tidak lurus. Orang benar dalam hal ini dilawan-katakan dengan orang yang membusungkan dada, tidak lurus hati. Kelihatannya busung atau gede tetapi sebenarnya kelaparan.
Arti orang yang membusungkan dada adalah orang yang hidupnya penuh kepura-puraan atau tidak menerima apa adanya. Itu sebabnya membusungkan dada diartikan juga menyombongkan diri. Orang yang menyombongkan diri adalah orang yang tidak menerima diri apa adanya atau hanya berpura-pura karena takut dianggap lemah, dianggap kurang atau dianggap tidak punya oleh sesamanya. Berbuat baik hanya pura-pura supaya kelihatan oleh orang lain baik tetapi sebenarnya hati dan angan-angannya busuk.
Kejahatan tampaknya menang di dunia kita ini. Namun, Allah mendorong kita untuk hidup dengan iman, dan menyimpan di dalam hati jaminan yang diberikan-Nya kepada Habakuk, yaitu bahwa akan tiba hari pembalasan bagi orang-orang jahat. Ibadah yang bersungguh-sungguh atau berpura-pura tidak bisa dilihat dari apa yang dilakukan ketika pelaksanaan ibadah, tetapi hanya bisa dilihat dari apa yang dilakukan setelah pelaksanaan ibadah.