Mempersembahkan Yang Terbaik Bagi Tuhan
Matius 26 : 6 – 13
Ketika Yesus berada di rumah Maria, Maria meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang relatif mahal harganya. Perbuatan Maria itu sangat dicela oleh Yudas, yang sebentar lagi akan menjual Yesus kepada para imam-imam kepala dan orang-orang Yahudi. Bagi Yudas, minyak narwastu adalah minyak yang mahal. Sayang kalau hanya untuk meminyaki kaki Yesus. Minyak itu bisa dijual dengan harga yang mahal dan uangnya bisa diberikan kepada orang-orang miskin. Tapi apa yang disampaikan oleh Yudas itu sebenarnya bukan bagaimana membantu orang miskin, tetapi yang dilihatnya nilai uang itu. Yudas adalah bendahara dari para rasul, dan bendahara selalu “ijo” melihat uang. Bendahara biasanya selalu korupsi baik dari secara kecil-kecilan sampai korupsi besar-besaran. Ia keberatan dengan pengurapan mewah dan mahal itu. Ia menganggapnya pemborosan berlebihan. Menurut dia, jauh lebih baik jika minyak itu dipersembahkan bagi orang miskin. Sebuah motivasi religius mulia. Lalu ada penilaian penginjil terhadap sikap Yudas. Perkataan Yudas itu bukan ungkapan kesalehan dari nurani terdalam, yang hendak melakukan salah satu tiang kesalehan agama yaitu sedekah (selain doa dan puasa). Perkataan Yudas hanya mau menyembunyikan agendanya yang terselubung. Jika duit penjualan minyak wangi itu masuk kas bersama yang ia pegang, ia berkesempatan mencurinya, sebagaimana dilakukannya selama ini. Jangan menyembunyikan niat jahat dengan berpura-pura berniat baik padahal itu adalah niat buruk yang terselubung seperti dilakukan Yudas. Yesus angkat bicara: ini bukan pengurapan biasa, dalam rangka pemborosan, pamer dan berfoya-foya. Ini pengurapan antisipasi penguburan-Nya yang menurut Yohanes baru dilakukan sesudah Sabat. Tetapi ketika Maria datang ke makam, Yesus tidak ada di sana, makam kosong. Untunglah pengurapan itu sudah “dilakukan” sebelumnya. Begitulah jalan pikiran Yohanes. Lalu ada rencana membunuh Lazarus. Karena tidak bisa menangkap Yesus, setidaknya petinggi Yahudi bisa menebas korban paling mudah dan dekat yaitu Lazarus. Itu perilaku sosial yang terjadi di mana-mana. Kalau sasaran kelas kakap tidak bisa disentuh, cukup sasaran kelas teri yang disentuh. Ini viktimisasi brutal. Pengikut Yesus tidak boleh berperilaku seperti itu.
Namun apa yang diperbuat oleh Maria sebenarnya mempunyai makna simbolik yakni tentang kematian Yesus yang sudah mendekat. Dalam kehidupan nyata sering kita perhatikan kita juga menuangkan minyak “wangi” untuk orang yang sudah meninggal. Dan ini nampaknya menjadi tradisi, walau secara tak sengaja itu sudah terjadi semasa jaman Yesus. Hal lain yang perlu kita pelajari dari sang wanita tersebut adalah yang rela memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Di zaman Perjanjian Lama dulu, setiap kali bangsa Israel datang menghadap kepada Tuhan mereka harus selalu membawa persembahan berupa hewan korban. Tetapi tidak sembarang hewan persembahan itu berkenan di hati Tuhan. Jadi mereka harus membawa hewan-hewan yang terbaik: gemuk atau tambun, sehat dan tidak bercacat sebagai persembahan, karena Tuhan menyukai persembahan yang terbaik.
Di zaman anugerah ini kita tidak perlu membawa hewan korban dalam ibadah atau saat datang menghadap Tuhan. Lalu, apa yang kita bawa kepada Tuhan sebagai persembahan? Persembahan itu adalah hidup kita sendiri seperti yang disampaikan rasul Paulus kepada jemaat di Roma, "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1). Maka dari itu kita harus bisa menjaga hidup kita sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah yang Tuhan kehendaki: suatu kehidupan yang tidak bercacat cela. Yang terbaiklah yang harus kita persembahkan kepada Tuhan, karena Tuhan sudah terlebih dahulu memberikan yang terbaik bagi kita! Dikatakan, "Ia (Yesus) sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran." (1 Petrus 2:24).
Bersyukurlah bila hari ini kita diberi kesempatan mengarungi hidup sekejap di dunia ini. Pernahkah kita sadari bahwa detik demi detik hidup kita adalah rahasia Allah? Pernahkah kita renungkan bahwa keberadaan kita hari ini bukan kuasa kita? Kita hanya menjalani apa yang diberikan untuk kita, dengan satu tujuan: hidup lebih berarti lagi.
Hendaknya itu menjadi renungan kita setiap hari sehingga mengingatkan kita akan anugerah Allah atas hidup ini. Apakah kita sungguh-sungguh mengakui hal tersebut? Mungkin sebagian besar kita akan menjawab “Amin”. Lalu yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kita mengisi hari-hari hidup kita? Sepantasnya kalau kita meresponinya dengan mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan dalam hidup ini. Apakah “yang terbaik di mata Tuhan” itu? Tidak ada kata lain selain segenap hidup kita bagi Sang Pemberi Hidup – Tuhan Yesus sendiri. Itulah standar harga untuk membalas kebaikan Tuhan. Kesaksian itulah yang dinyatakan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (Flp 1:21). Jadikanlah momentum setiap hari untuk berkomitmen meninggalkan cara hidup yang lama, dan menyongsong hari yang baru untuk mempersembahkan segenap hidup kita bagi pekerjaan-Nya di sisa umur hidup kita yang masih diberikan-Nya kepada kita.