Menjaga Kelestarian Alam
Kejadian 2 : 15
Kejadian 2 : 15
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu
Kita seringkali lupa bahwa lingkungan harus dilestarikan. Masih banyak orang membuang sampah sembarangan. Timbunan sampah menumpuk di mana-mana, sungai tercemar dengan limbah dan sampah, asap pabrik mencemarkan udara, semua ini bisa berdampak fatal di kemudian hari. Dampak yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan hidup pun sebenarnya sudah mulai kita rasakan saat ini. Perubahan suhu permukaan bumi menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim yang mengganggu ekosistem di bumi, mencairnya gunung-gunung es di kutub yang pada akhirnya bisa memberi masalah bagi pulau-pulau. Alam yang indah dengan tumbuh-tumbuhan adalah ciptaan Tuhan yang luar biasa. Dia menyediakan segalanya bagi kita semua. Dan lihatlah, Tuhan berkata bahwa apa yang Dia ciptakan adalah baik. (Kejadian 1:12)
Skala restorasi, juga pencegahan kerusakan lingkungan, yang dibutuhkan Indonesia membawa konsekuensi sumber daya yang besar. Dulu kita pernah sukses memasukkan besaran persentase anggaran pendidikan ke dalam Konstitusi. Tidakkah kita berpikir bahwa, untuk lingkungan, seharusnya kita melakukan hal yang sama? Memang, penyediaan sumber daya tidak seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Perusahaan dan masyarakat, sebagai sumber masalah lingkungan, juga sudah seharusnya memikul tanggung jawab penyediaan sumber daya tersebut. Setidaknya, mereka harus bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak negatif yang mereka timbulkan, selain merestorasi apa yang mereka rusak. Untuk itu, pengetatan regulasi dan penegakannya menjadi krusial. Penghargaan terhadap mereka yang melampaui ketentuan regulasi juga harus diberikan. Kisah sukses terkait dengan upaya menghukum para pelaku kejahatan lingkungan, merestorasi kerusakan, serta melakukan pencegahan kerusakan sangatlah penting untuk dipublikasikan. Di luar negeri, buku-buku yang menimbulkan harapan perbaikan kini gencar diterbitkan. Eco Barons karya Edward Humes, Getting Green Done dari Auden Schendler, serta Be the Solution oleh Michael Strong--seluruhnya terbit pada 2009--adalah tiga di antara banyak buku sejenis.
Indonesia memiliki banyak kisah sukses serupa, namun sayangnya tidaklah cukup terdengar. Padahal kisah sukses bisa membangkitkan semangat kerja, memberi inspirasi pemecahan masalah, dan meyakinkan pembacanya bahwa mereka tidak sendirian dalam kerja perbaikan lingkungan. Kutipan atas pernyataan pesimistis Hawken di atas dilanjutkan dengan "Bila Anda bertemu dengan orang-orang yang berusaha memecahkan masalah-masalah ini di berbagai belahan dunia dan tidak merasa optimistis, Anda tak punya hati".
Bumi beserta segala isinya adalah milik Tuhan (Mazmur 24:1), dan kita manusia diberi otoritas untuk menguasainya (Kejadian 1:28). Kelestarian lingkungan atau kerusakan lingkungan, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Kita diberi otoritas untuk menjaga kelestarian lingkungan, maka kita harus bertanggungjawab atas otoritas yang diberikan Tuhan.
Kita seringkali lupa bahwa lingkungan harus dilestarikan. Masih banyak orang membuang sampah sembarangan. Timbunan sampah menumpuk di mana-mana, sungai tercemar dengan limbah dan sampah, asap pabrik mencemarkan udara, semua ini bisa berdampak fatal di kemudian hari. Dampak yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan hidup pun sebenarnya sudah mulai kita rasakan saat ini. Perubahan suhu permukaan bumi menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim yang mengganggu ekosistem di bumi, mencairnya gunung-gunung es di kutub yang pada akhirnya bisa memberi masalah bagi pulau-pulau. Alam yang indah dengan tumbuh-tumbuhan adalah ciptaan Tuhan yang luar biasa. Dia menyediakan segalanya bagi kita semua. Dan lihatlah, Tuhan berkata bahwa apa yang Dia ciptakan adalah baik. (Kejadian 1:12)
Skala restorasi, juga pencegahan kerusakan lingkungan, yang dibutuhkan Indonesia membawa konsekuensi sumber daya yang besar. Dulu kita pernah sukses memasukkan besaran persentase anggaran pendidikan ke dalam Konstitusi. Tidakkah kita berpikir bahwa, untuk lingkungan, seharusnya kita melakukan hal yang sama? Memang, penyediaan sumber daya tidak seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Perusahaan dan masyarakat, sebagai sumber masalah lingkungan, juga sudah seharusnya memikul tanggung jawab penyediaan sumber daya tersebut. Setidaknya, mereka harus bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak negatif yang mereka timbulkan, selain merestorasi apa yang mereka rusak. Untuk itu, pengetatan regulasi dan penegakannya menjadi krusial. Penghargaan terhadap mereka yang melampaui ketentuan regulasi juga harus diberikan. Kisah sukses terkait dengan upaya menghukum para pelaku kejahatan lingkungan, merestorasi kerusakan, serta melakukan pencegahan kerusakan sangatlah penting untuk dipublikasikan. Di luar negeri, buku-buku yang menimbulkan harapan perbaikan kini gencar diterbitkan. Eco Barons karya Edward Humes, Getting Green Done dari Auden Schendler, serta Be the Solution oleh Michael Strong--seluruhnya terbit pada 2009--adalah tiga di antara banyak buku sejenis.
Indonesia memiliki banyak kisah sukses serupa, namun sayangnya tidaklah cukup terdengar. Padahal kisah sukses bisa membangkitkan semangat kerja, memberi inspirasi pemecahan masalah, dan meyakinkan pembacanya bahwa mereka tidak sendirian dalam kerja perbaikan lingkungan. Kutipan atas pernyataan pesimistis Hawken di atas dilanjutkan dengan "Bila Anda bertemu dengan orang-orang yang berusaha memecahkan masalah-masalah ini di berbagai belahan dunia dan tidak merasa optimistis, Anda tak punya hati".
Bumi beserta segala isinya adalah milik Tuhan (Mazmur 24:1), dan kita manusia diberi otoritas untuk menguasainya (Kejadian 1:28). Kelestarian lingkungan atau kerusakan lingkungan, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Kita diberi otoritas untuk menjaga kelestarian lingkungan, maka kita harus bertanggungjawab atas otoritas yang diberikan Tuhan.