Jumat, 13 Agustus 2010

RENUNGAN EPISTEL , MINGGU XI SETELAH TRINITATIS, 15 AGUSTUS 2010

Persekutuan Dan Persaudaraan
1 Petrus 3 : 8 – 12
Persekutuan dan persaudaraan yang rukun adalah dambaan setiap orang di dunia ini. Bagaimanakah agar impian ini menjadi kenyataan? Persektuan dan persaudaraan ini terwujud jika kita memiliki nilai-nilai hidup seperti:
Pertama, Seia sekata. Harus kita akui bahwa kita memiliki banyak latar belakang yang berbeda-beda menurut suku, bahasa dan adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, cara berpikir dan sebagainya, namun kita harus benar-benar sehati, seia-sekata, supaya dapat hidup sebagai persekutuan yang mau mengerti satu dengan yang lain. Situasi yang demikian menggambarkan bahwa jemaat merupakan organ atau badan yang hidup, di mana terdapat berbagai-bagai anggota atau suatu badan yang sangat berlainan bentuknya dan sangat beraneka ragam fungsinya. Di dalam keberanekaragaman itu anggota-anggota dapat saling membantu dan saling mengisi satu sama lain. Tidak ada yang menganggap dirinya lebih berharga dan lebih tinggi. Baik Tuhan Yesus maupun rasul-rasul, sering menekankan kesatuan di dalam persekutuan. Tuhan Yesus dalam doaNya supaya "murid dan pengikutNya, menjadi satu“ (ut omnes unum sint). Rasul Paulus menggarisbawahi dalam surat kirimannya kepada jemaat di Roma, Korintus, dan Efesus, “meskipun anggota-anggota itu berlainan dan mempunyai talenta-talenta yang sangat berlainan, namun mereka tetap satu badan, satu organ yang hidup“.
Kedua, seperasaan (sympathein=sama merasai sakit). Dalam satu organ yang hidup, bila tangan terluka, sesungguhnya tidak hanya tangan saja yang menderita, melainkan seluruh tubuh menderita kesakitan. Begitulah sifat organ yang hidup, di mana semua anggota ikut menderita apabila salah satu anggota mengalami kesakitan dan sama-sama bersukacita apabila salah satu anggota bersukaria (1Kor.12:26).


Ketiga, mengasihi. Pusat atau azas hidup orang Kristen adalah kasih karena hakikat atau kesempurnaan Allah adalah mengasihi dunia. Kasih adalah sumber dari segala kebajikan. Kasih itu panjang sabar, kasih menjauhkan dengki, kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan sebagainya. Artinya kita diharapkan memiliki persekutuan dan persaudaraan yang rukun (bd.Mzm.133). Jika pada kita tidak ada kasih sudah barang tentu persaudaraan itu tidak dapat dinikmati.
Keempat, penyayang. Sifat penyayang ini harus didasari atas kepenyayangan Tuhan kepada kita yang rela berkorban menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia. Kita juga harus mampu menyayangi suami-istri dan anak-anak, serta orang lain tanpa memandang suku, ras dan budaya. Kelima, rendah hati. Dengan rendah hati kita mampu mengalahkan kesombongan dan kecongkakan kita. Karena sifat kesobongan dan kecongkakan inilah yang sering merusak persekutuan dan persaudaraan di antara kita. Sifat rendah hati akan menjadikan persekutuan kita akan semakin indah dan bahagia.
Kenapa manusia BAIK kepada yang BAIK kepada dan menurut dirinya ? karena hal ini adalah daya alamiah manusia yang kodrati, manusia adalah makhluk cinta, pada dasarnya manusia memiliki KEBUTUHAN bukan hanya dicintai tetapi juga untuk mencintai, dengan kata lain; manusia perlu mengexpresikan perasaan cintanya, suatu tindakan harus dilakukan, dengan melakukan kebaikan kepada orang yang baik, maka manusia merasa telah mengekspersikan hasrat kebutuhan untuk mencintainya secara TEPAT, sehingga ia akan merasa puas,nyaman, dan lebih baik.
Melakukan hal yang baik kepada yang berbuat kebaikan kepada kita adalah biasa, melakukan kebaikan kepada mereka yang tidak baik kepada kita itulah yang LUAR BIASA. Mengapa mayoritas orang tidak melakukannya ? karena dibutuhkan keberanian dan jiwa yang besar untuk melakukan hal tersebut. Perlu daya tahan dan harga diri yang tidak tergoyahkan, diperlukan nyali, yang kita harapkan dari berbuat baik kepada yang baik terhadap kita adalah RASA nyaman, puas, dan selaras. Artinya ada beban-beban psikologis yang terangkat saat seseorang membalas hal yang baik dengan kebaikan. Sedangkan membalas kejahatan dengan kebaikan akan memberikan perasaan tidak BERNILAI dan mendegradasi level self esteem (harga diri) bagi kebanyakan orang.
Mungkinkah seseorang bertindak jahat kepada kita tanpa sebab ? Tidak mungkin. Selalu ada faktor-faktor yang mendahuluinya seabstrak apapun faktor-faktor tersebut. Faktanya; asumsi dan apriori menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Kebaikan terhadap yang tidak baik adalah KEBENARAN, sekaligus sebagai pembenaran dan koreksi bahwa kita memang BAIK secara TERUJI.
Teruslah berusaha menjadi Sang Pembawa Kebaikan dalam segala sesuatunya, karena hal ini menjadi bagian yang terbaik yang seyogyanya dilakukan oleh seluruh individu, dengan memantapkan diri bahwa saya baik dan memang kebaikan saya itu benar, biarkan orang lain mengujinya. Dia tidak baik, saya tidak baik juga kepadanya, akan melenyapkan kesempatan saya untuk membuktikan KEBENARAN bahwa saya memang orang yang benar-benar baik adanya. Menjahati orang yang jahat kepada Anda namanya balas dendam, dendam akan melahirkan dendam, jika tidak ada kesadaran untuk memutus polanya dan mencoba menghadirkan win-win solution. Kebaikan dimulai dari diri sendiri, perasaan cukup dicintai, dipedulikan, dihargai menjadi faktor dominan seseorang memiliki harga diri dan citra diri yang menawan dan tak tergoyahkan, hal ini adalah proses membina diri dan belajar seumur hidup. Seberapa indah dan mahalnya membalas kejahatan dengan kebaikan ? hal ini adalah kekayaan spiritual, hal ini diukur secara rohani sebagai proses pemurnian diri. Bagaikan menaiki anak tangga menuju kepada suatu pencerahan dan wilayah-wilayah yang belum tersentuh. Demikianlah harga dari melakukan kebaikan terhadap hal-hal yang tidak baik, ada terobosan dan perubahan secara signifikan yang akan mempengaruhi paradigma pemikiran dan pandangan kita akan hidup dinamika sosial.



Jamita Epistel Minggu KANTATE – 28 April 2024

Ingkon Mamujimuji Jahowa Do Angka Na Usouso di Ibana      (Orang Yang Mencari Tuhan Akan Memuj NamaNya) Mateus 15: 8 – 20   a)    ...