Selasa, 17 Agustus 2010

Renungan Epistel Minggu XII Setelah Trinitatis, 22 Agustus 2010

Menciptakan Kerukunan
Kejadian 33 : 1 – 11
Esau dan Yakub lahir dari keluarga Ishak dan Ribka. Esau sendiri tumbuh dan berkembang sebagai seorang pemburu dan Yakub tumbuh dan berkembang sebagai seorang penggembala domba dan lebih banyak tinggal di rumah bersama dengan ibundanya. Akhir kisah anak kembar ini, si Esau sebagai anak sulung gagal memperoleh berkat dari bapanya sebab telah terlebih dahulu diberikan kepada adiknya Yakub.
Dalam kisah Esau dan Yakub yang mempunyai karakter yang berbeda. Bukan tidak mungkin dalam keluarga Ishak terdapat perbedaan penyampaian pendidikan. Esau kurang mendapat pendidikan yang ditujukan kepada cinta kasih dan kepedulian. Ia hanya cukup mempunyai kecakapan mencari dan membidik/membunuh buruannya. Dalam perkembangannya tumbuh sifat-sifat egois, memaksakan kehendak dan kurang peka terhadap perasaan orang lain. (Bandingkan: Esau rela menjual hak kesulungannya hanya untuk mendapatkan semangkok bubur kacang merah). Lain halnya dengan Yakub, Dia memperoleh pendidikan yang lebih di tujukan pencapaian emosional dan sosial yang sehat. Bagi seorang gembala dibutuhkan cinta kasih dan kepedulian, ia harus sabar, peka terhadap keadaan domba-dombanya. Wajarlah Tuhan memilih dia menjadi pemimpin dan memperoleh berkat melalui Bapanya Ishak.

Sebagai kakak beradik, tentu mereka diharapkan hidup rukun. Tetapi, dalam kenyataan tidaklah demikian. Mereka lama terpisah akibat pertengkaran. Esau merasa dirinya telah ditipu oleh Yakub. Hak kesulungan yang semestinya dimiliki Esau ternyata diambil oleh Yakub dengan tipu daya. Karena itulah, Esau marah dan mendendam terhadap Yakub. Nada kemarahan terlihat jelas dalam Kejadian 27.41: "Esau menaruh dendam kepada Yakub karena berkat yang telah diberikan ayahnya kepadanya, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri: "Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi; pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh." Situasi benar-benar meruncing. Hal itu membuat Yakub pergi meninggalkan rumahnya menuju Mesopotamia.
Tenangkah Yakub dalam pelarian? Awalnya, mungkin ya. Namun, kegelisahan agaknya tidak mudah terhapus dari kalbunya. Kegelisahan itu terjawab. Pada suatu hari, Tuhan berfirman kepada Yakub: "Pulanglah ke negeri nenek moyangmu dan kepada kaummu dan Aku akan menyertai engkau" (Kejadian 31:3). Apakah rencana Tuhan di balik perintahNya ini? Jika dikaitkan dengan permasalahan sebelumnya, nampaknya Tuhan menginginkan Yakub menyelesaikan permasalahannya dengan Esau. Tuhan menginginkan keributan yang terjadi di antara mereka diubah menjadi kerukunan. Rencana Tuhan amat baik. Sekalipun menjadi jawaban atas pergumulan Yakub, perintah Tuhan bukanlah hal yang mudah untuk ditaati. Yakub berpikir panjang. Bukankah hal ini sama dengan bunuh diri? Bukankah jika ia pulang, mudahlah bagi Esau untuk menangkapnya dan melampiaskan dendamnya? Dalam pergumulan itu akhirnya Yakub memutuskan bertemu dengan Esau. Tidak mudah mengambil keputusan itu. Ia berjuang, setidaknya melawan dirinya sendiri.
Yakub lalu merancang strategi. Ia tidak mau mati konyol. Ia menyuruh utusannya berjalan terlebih dahulu menjumpai Esau (Kejadian 32:3-5). Dengan strategi ini akan terlihat kemarahan Esau. Strategi ini tidak menghasilkan apa-apa. Yakub justru mendengar dari utusannya bahwa Esau sedang dalam perjalanan untuk menjumpai dirinya dengan diiring empat ratus orang, takutlah Yakub dan merasa sesak hati. Strategi kedua pun dijalankan. Yaitu menempatkan keluarganya di depannya (Kejadian 33:2). Lewat itu, Yakub juga mau melihat seberapa besar kemarahan Esau. Sampai akhirnya, ia pun mau berjalan ke depan dan bersujud tujuh kali (ay. 3). Melihat hal itu, berlarilah Esau mendapati Yakub dan mendekapnya serta mencium Yakub serta mereka bertangis-tangisan dalam perjumpaan itu. Permusuhan yang telah lama terjadi hingga memisahkan mereka berubah menjadi kerukunan antara kakak dengan adik. Yakub dan Esau berkasih-kasihan, keributan yang pernah terjadi diubah menjadi kerukunan, kemarahan diubah menjadi pengampunan, penolakan diubah menjadi penerimaan. Itu semua bisa terjadi karena adanya kerendahan hati dan perjuangan. Yakub rela menyongsong Esau dengan resiko apapun. Ia bersujud menyatakan permohonan maafnya. Sebuah keributan, separah apapun, akan dengan mudahnya selesai ketika semua pihak merendahkan diri.
Mengapa kita ribut? Andar Ismail menyebutkan: "Di sinilah terdapat paradoks (=dua hal yang bertentangan) dan kausalitas (=dua hal yang saling menyebabkan)." Artinya, yang menyebabkan kita ribut seringkali karena kita mencintai keluarga kita. Kita tidak ingin mereka terjatuh atau tersesat. Dan justru karena kita ribut. Paradoks bukan? Dalam cerita Alkitab, banyak kita jumpai keluarga yang berkonflik. Keluarga Ishak, di mana anak mereka Yakub dan Esau bertengkar, bermusuhan (selanjutnya jelaskan berdasarkan Penjelasan Teks di atas). Yang penting bukanlah pada ributnya mereka, tetapi bagaimana mereka mengakhiri keributan itu menjadi kerukunan. Yang dibutuhkan adalah kerendahan hati. Jangan mencari jawaban siapa yang benar. Sebab rukun adalah sebuah hal yang indah. Pikirkankan keindahannya, jangan pikirkan gengsinya. Berikanlah contoh praktis.

Jamita Epistel Minggu KANTATE – 28 April 2024

Ingkon Mamujimuji Jahowa Do Angka Na Usouso di Ibana      (Orang Yang Mencari Tuhan Akan Memuj NamaNya) Mateus 15: 8 – 20   a)    ...