Jumat, 15 Januari 2010

RENUNGAN MINGGU II Setelah Epiphanias, 17 Januari 2010

KESATUAN UMAT KRISTEN
Yohanes 17: 20-23
Kristus Berdoa Untuk Kesatuan dengan Jangkauan Doa : Bukan karena mereka itu (rasul-rasul) sahaja Aku berdoa ini, melainkan karena segala orang yang percaya akan Daku. Semua yang percaya termasuk dalam jangkauan ini. Tujuannya : “Supaya semuanya jadi satu juga sama seperti Engkau di dalam Aku ya Bapa, dan Akupun di dalam Engkau, supaya mereka itu pun jadi satu di dalam Kita.” Pengaruh paling akhir : “Supaya isi dunia ini percaya bahwa Engkaulah yang menyuruh Aku.” Implikasi : Perpecahan dan denominasi agama menghasilkan ketidaksetiaan; dan bahwa kesatuan diantara orang-orang percaya adalah senjata yang paling efektif untuk melawan ketidaksetiaan dan atheisme. Penerapan : Janganlah, seorangpun, berterima kasih kepada Allah karena ada begitu banyak gereja denominasi, kalau tidak bersyukur bahwa doa Kristus belum dijawab. Orang yang menghormati kehendak Tuhan harus mendukung KESATUAN dan menolak membantu perkembangan denomimasi yang lebih jauh atau perpecahan yang sejenis diantara orangorang yang percaya. Kata “Gereja” berarti “Dipanggil keluar.” (Lihat Pelajaran I). Oleh karena itu Gereja termasuk semua orang yang telah dipanggil kedalam pelayanan Allah dan tidak dapat dipakai secara benar dalam pengertian denominasi. Kata “denominasi” menyarankan perpecahan atau pembagian dari keseluruhan. Gereja Tuhan bukanlah bagian atau pecahan dari sesuatu. Dalam pandangan yang lebih luas, Gereja Tuhan termasuk semua yang diselamatkan. (1) Allah melakukan penambahan (Kisah Rasul-Rasul 2:41-47).(2) Orang-orang yang berada dalam Gereja terdaftar di surga –tidak ada kesalahan dalam pendaftaran ini (Ibrani 12:22-23). Gereja Tuhan termasuk setiap orang yang diselamatkan di dunia, tidak ada satu denominasi pun yang membuat tuntutan seperti ini.
AllahMembenci Orang-Orang Yang Menyebabkan Perpecahan. Amsal 6:19 –“Saksi dusta yang bertutur bohong, dan orang yang menanamkan percideraan di antara saudara bersaudara.

Pada suatu hari, seorang bapak yang hampir meninggal memanggil ke lima anaknya. Kepada masing-masing anak, ia memberikan beberapa batang lidi. Katanya kepada mereka, "Patahkan lidi ini!" Setiap anak tanpa kesulitan yang berarti dapat mematahkan lidi itu. Bapak itu lalu mengambil lidi yang lain dalam jumlah yang sama dan memberikan kepada mereka. Setelah semua anak
menerima lidi itu, ia mengambilnya kembali, mengikatnya bersama menjadi sebuah sapu lidi dan menyerahkannya kepada anak sulung. Sambil tersenyum, sang bapak berkata, "Patahkan sapu lidi ini!" Anak sulung itu berusaha sekuat tenaga untuk mematahkan sapu lidi itu, namun tidak berhasil. Kata sang bapak akhirnya, "Kalau masing-masing mau berjalan sendiri, kalian lemah. Kalau kalian tetap bersatu dan kompak, seperti sapu lidi ini, kalian akan kuat dan berhasil mencapai tujuan kalian." Cerita ini ingin menunjukkan kepada kita bahwa suatu tujuan bersama akan mudah dicapai bila ada kesatuan dan kekompakan di antara anggota. Pesan yang sama juga menjadi salah satu pesan Injil ini bahwa kesatuan dan kekompakan di antara orang-orang yang percaya adalah hal yang amat penting. Maka, berdasar Injil hari ini, mari kita bertanya, "Sejauh mana aku sudah menjadi orang yang senantiasa mendahulukan semangat kesatuan, kekompakan, kebersamaan dan persaudaraan di lingkungan aku hidup? Agar jemaat dapat belajar dan melakukan firman Tuhan dalam kesatuan dan persatuan yang dikehendaki oleh Tuhan. Bahwa sesama jemaat itu sebenarnya saling membutuhkan, baik dalam kasih, dukungan doa dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Di dalam dunia teologi kita mengenal istilah monergisme. Istilah tersebut berarti Allahlah yang semata-mata berkarya untuk keselamatan manusia. Istilah kedua yang biasanya disandingkan dengan istilah di atas adalah sinergisme. Sinergisme berarti Allah bekerja sama dengan manusia untuk mencapai menyelamatkan manusia. Tetapi istilah sinergisme berbeda dengan istilah sinergi seperti yang dipaparkan oleh Stephen Covey. Bagi Covey sinergi itu berarti bahwa jumlah keseluruhan lebih besar dari bagian-bagiannya. Contohnya jika seorang pria dan wanita bersatu di dalam pernikahan, maka yang terwujud adalah suatu entitas baru yang disebut dengan keluarga yang memiliki hak, pengalaman dan kekuatan lebih daripada sekedar kumpulan dua orang. Contoh lain misalnya adalah organ-organ tubuh seperti mata, jantung, paru-paru, hati, otak, dan lain-lain, jika bergabung bersama akan membentuk suatu sinergi yang kekuatannya lebih dari sekedar kumpulan organ, akan tetapi membentuk entitas baru yang disebut manusia, yang sadar, dapat berpikir, berkomunikasi dan berhubungan dengan sesama manusia. Dalam hal ini Covey melihat sinergi yang terbentuk dari suatu kesatuan. Alangkah luar biasanya kesatuan ini karena akan membentuk sinergi.
Di dalam bagian ini kita melihat bahwa Tuhan Yesus berdoa untuk kesatuan daripada murid-murid-Nya yang percaya kepada pemberitaan para Rasul. Hal ini jelas terlihat di dalam ayat 21 di mana Ia mengatakan: “supaya mereka semua menjadi satu,” kemudian ayat 22 “supaya mereka menjadi satu,” dan ayat 23 “supaya mereka sempurna menjadi satu.” Jadi jelas bahwa Yesus berdoa bagi kesatuan umat-Nya. Ini yang menjadi doa Yesus sebagai Imam Besar dan saya kira menjadi harapan Yesus bagi umat-Nya. Di dalam doa Tuhan Yesus ini kita dapat melihat ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan mengenai kesatuan umat Tuhan.
1. Wujud Kesatuan.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa kesatuan di dalam bagian ini bukan kesatuan secara organisasi. Karena tidak mungkin organisasi gereja dan organisasi Kristen lainnya bersatu. Tetapi jika kita melihat bahwa kesatuan ini dapat disaksikan oleh dunia (dalam hal ini orang-orang yang di luar Kristus, ayat 21 dan 23) maka kesatuan ini jelas termasuk kesatuan dalam hal organisasi. Karena kesatuan dalam hal organisasi inilah yang paling mudah terlihat oleh orang-orang yang belum percaya.
Lagipula pada waktu konsumasi (kedatangan Kristus kembali) seluruh umat Tuhan berada di bawah pemerintahan Yesus Kristus. Melihat umat Tuhan dari perspektif ini maka tidak salah kalau kita mengatakan bahwa ada aspek kesatuan organisasi di dalam kesatuan umat Tuhan. Kita sering mendengar bahwa orang-orang yang pertama kali percaya bingung karena harus memilih gereja karena begitu banyak gereja yang berbeda-beda. Dan bahwa perpecahan gereja-gereja dan organisasi-organisasi sering menjadi cemoohan bagi orang-orang dunia.
Mengenai bentuk organisasi saya kira tidak dijelaskan dengan gambling di dalam Alkitab. Jadi apapun bentuk organisasi tersebut apakah episkopal, kongregasional, presbiterian, atau presbiterian sinodal bergantung pada kesepakatan kita dan yang terbaik bagi gereja Tuhan.
Wujud kesatuan ini jika dilihat dari dasarnya atau polanya yaitu seperti kesatuan Bapa dan Anak (ayat 21 dan 22) maka kesatuan ini adalah kesatuan kasih. Kasih yang diwujudnyatakan dalam perbuatan-perbuatan di dalam komunita Kristen tersebut. Sebagaimana Bapa mengasihi Anak dan Anak mengasihi Bapa, maka haruslah kita saling mengasihi.
2. Landasan Kesatuan
Jika kita melihat ayat 21 maka kita menemukan landasan kesatuan tersebut ada dalam kesatuan Bapa dan Anak sebagaimana dikatakan: “sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” Juga di dalam ayat 22 yang mengatakan: “supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” Pola kesatuan orang-orang Kristen adalah kesatuan Bapa dan Anak, yang jika kita lihat secara keseluruhan dari Injil Yohanes, maka itu berarti kesatuan Allah Tritunggal. Di dalam diri Allah sendiri Allah Bapa mengasihi Anak dan Anak mengasihi Bapa. Di dalam mereka sendiri ada suatu persekutuan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Landasan Trinitarian ini memiliki implikasi yang luas bagi persekutuan orang-orang percaya. Implikasi yang terlihat adalah pada penciptaan (creation) dan penebusan (redemption). Di dalam penciptaan, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Allah yang merupakan pola dari penciptaan manusia itu sendiri adalah Allah yang bersekutu, maka manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah manusia yang perlu bersekutu dengan sesama manusia. Ia menciptakan manusia sebagai makhluk yang perlu bersekutu dan mengasihi karena Allah yang menciptakan manusia itu adalah Allah yang saling mengasihi dan Allah yang saling bersekutu (koinonia). Dengan kata lain Allah memang menciptakan manusia sebagai makhluk social yang tidak pernah cukup di dalam dirinya sendiri. Inilah yang kita lihat pada waktu Hawa mau diciptakan, bahwa Adam tidak dapat berdiri sendiri, dia perlu rekan dan penolong yang sepadan.
Di dalam penebusan, pada waktu Allah membangun komunita Kristen itu sendiri, Ia membangunNya sebagai tubuh Kristus, yang memiliki banyak anggota tetapi sebenarnya satu tubuh. Dan masing-masing anggota tubuh itu saling membutuhkan satu dengan yang lain. Anggota tubuh tersebut tidak dapat hidup mandiri, lepas dari anggota-anggota tubuh yang lain.
Akibat adanya anggota-anggota tubuh yang berbeda ini ada pula perspektif-perspektif (perspektif maksudnya adalah cara memandang sesuatu) yang berbeda-beda di dalam masalah pengetahuan. Sebagaimana di dalam Allah ada satu perspektif tunggal yaitu perspektif Allah, tetapi Ia juga memiliki perspektif-perspektif sebagai pribadi-pribadi yang berbeda-beda. Ada perspektif Allah Bapa, perspektif Anak, dan perspektif Roh Kudus. Dengan kata lain ada keberagaman perspektif di dalam diri Allah meski ada pula perspektif tunggalnya. Dengan demikian sebagai anggota tubuh Kristus kita mengakui adanya keberagaman perspektif di dalam tubuh Kristus dan perspektif-perspektif ini sah meski kadang-kadang kita tidak dapat melihat bagaimana menggabungkan kedua perspektif ini misalnya dalam hal Calvinisme dan Armenianisme. Karena kita terdiri dari banyak anggota tubuh. Ini berarti pula bahwa tidak ada satu perspektif di dalam tubuh Kristus yang dapat mengklaim memiliki seluruh kebenaran Kekristenan. Sebaliknya perspektif- perspektif tersebut harus belajar terbuka kepada perspektif yang lain di dalam tubuh Kristus. Dengan demikian tradisi Reformed harus belajar kepada tradisi Armenian demikian pula sebaliknya, demikian pula dengan tradisi-tradisi yang lainnya.
Akan tetapi sejak Pencerahan yang mencapai puncaknya pada diri Imanuel Kant, subyek pengetahuan yaitu “Aku” yang mengetahui diangkat begitu tinggi melebihi komunita sehingga cenderung menjadi individualis bahkan di dalam masalah pengetahuan. Ini masuk pula ke dalam dunia teologi, sehingga orang tidak perlu orang lain (other mind) untuk mengetahui. Cukup rasioku, pengalamanku, intuisiku, persepsiku, untuk menentukan benar atau salah. Dengan cara ini kita memutlakan perspektif kita sendiri. Dan inilah yang menjadi penghambat di dalam kesatuan umat Tuhan. Saya yang benar, orang Kristen yang lain salah. Padahal orang-orang sekarang mengetahui bahwa subyek yang mengetahui tidak pernah lepas dari tradisi komunitanya dan dari paradigma komunitanya, sehingga terlalu berani jika seseorang memutlakan perspektifnya.
Selain itu, iri hati terhadap karunia yang dimiliki oleh rekan-rekan anggota tubuh yang lain juga menghambat kesatuan tersebut. Kita iri karena kita membutuhkan pengakuan dari orang lain. Saya ambil contoh yang ektrim saja, misalnya, Bukankah kita sering kali mencari pengakuan atas diri kita dan kemampuan kita. Kita tidak suka kalau rekan kita yang malah dipuji bukan kita. Kita haus pengakuan terhadap diri kita. Bahkan kita kadang-kadang lupa tempat yang Tuhan berikan kepada kita. Kita protes kenapa dia punya kemampuan lebih, kenapa bukan saya saja, sehingga kita menyikut kiri kanan dan menginjak di bawah, mendongkel di atas agar kita sendiri dapat maju.
Di dalam situasi seperti ini kiranya cukup baik untuk memaparkan pandangan Covey tentang relasi. Ia mengatakan bahwa relasi paling rendah tingkatannya adalah relasi antar manusia yang dependent, relasi di mana yang seorang selalu bergantung pada orang lain. Relasi yang lebih baik lagi adalah relasi independent, yaitu relasi di mana orang itu mandiri. Tidak perlu orang lain. Tetapi relasi yang lebih baik lagi adalah relasi interdependent, relasi yang saling bergantung, relasi orang-orang yang mandiri, relasi yang juga saling menguatkan. Kita perlu masuk ke dalam relasi tahap ketiga ini.
3. Tujuan Kesatuan.
Jika kita melihat ayat 21 dan ayat 23 maka jelas bahwa di sini tujuan kesatuan itu adalah: “supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku.” Kemudian, “agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.” Jadi kesatuan ini pun memiliki nilai apologetika. Kesatuan umat Tuhan untuk memperlihatkan bahwa Tuhan Yesus memang diutus Allah Bapa. Dengan kata lain orang dunia berhak untuk menilai apakah benar Yesus diutus Allah melalui kesatuan umat-Nya.
Pada masa pasca modern ini orang tidak lagi percaya kepada Truth dengan capital T, tetapi hanya kepada truth dengan small t. Mereka hanya percaya kepada kebenaran-kebenaran bukan kepada Kebenaran Tunggal. Termasuk dalam hal ini adalah kebenaran Kekristenan. Kekristenan termasuk salah satu kebenaran (meski kita percaya bahwa Allah adalah kebenaran yang tunggal itu). Pada masa seperti ini apologetika dengan argumentasi kadang-kadang kurang efektif (bukan salah atau tidak efektif). Dan seringkali kebenaran di dalam komunita itu berbicara lebih kuat di dalam masa ini, sehingga orang berbicara mengenai kebenaran dengan cara melihatnya di dalam praktek komunita yang mengatakan tentang kebenaran tersebut.
Kita yang mengatakan tentang kebenaran Kristus seharusnya juga mewujudnyatakannya di dalam komunita Kristen. Oleh sebab itu biarlah kita sebagai anak-anak Tuhan dan hamba-hamba Tuhan mewujudnyatakan kesatuan itu di dalam kehidupan kita. Belajar menghargai perspektif orang lain dan belajar menghargai karunia yang Tuhan sudah berikan kepada orang lain. Tuhan memberkati kita. Amin (EM).


Jamita Evangelium Minggu ROGATE (Martangiang) – 5 Mei 2024

Sai Na Manjalo DO Nasa Na Mangido      (Setiap Orang Yang Meminta Akan Menerima) Matius 7: 1 - 11   a)       Huria ni Tuhanta ia Matiu...