Satu Hati Memuliakan Tuhan
ROMA 15 : 1 – 6
ROMA 15 : 1 – 6
Paulus menekankan tentang bagaimana hidup bergereja. Hidup bergereja adalah hidup berkomunitas, bukan hidup seorang diri. Walaupun diri adalah juga merupakan gereja, namun yang dimaksud gereja sebagai tubuh Kristus adalah gabungan semua umat yang ada dalam gereja. Dalam satu tubuh, ada yang menjadi kaki, tangan, mata, dll, yang mana semuanya mempunyai bagian masing-masing di dalam tubuh tersebut.
Satu tubuh ini terdiri dari berbagai pribadi yang tergabung di dalamnya, maka sikap yang seharusnya dijalankan agar tubuh tersebut merupakan satu kesatuan adalah:
a. yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri; setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya (Roma 15:1-2).
Hal ini adalah point yang utama yang harus dijalankan. Kesatuan tubuh dapat terjadi kalau jemaat mengalami kedewasaan. Persekutuan di dalam gereja akan berjalan dengan baik kalau orang-orang yang ada di dalamnya mau bertumbuh untuk menjadi dewasa. Pendeta yang beres akan mendidik jemaatnya agar dapat mandiri, mendidik jemaat supaya menjadi kuat dan bahkan bisa menguatkan orang lain, bukan hanya sendiri benar tetapi juga bisa mendorong orang lain untuk kembali kepada kebenaran, bukan sendiri dewasa tetapi juga bisa membantu mendewasakan orang lain.
Konsep dalam ayat di atas sudah diketahui banyak orang tetapi justru dilawan oleh banyak orang karena manusia tidak suka orang lain yang diperhatikan, manusia suka semua orang memperhatikan dia. Semua manusia suka kalau egoisitas/ kesenangan dirinya yang digarap. Di sinilah terjadi ketegangan antara mau menyenangkan orang lain tetapi juga masih ingin menyenangkan diri. Akibatnya: manusia cenderung melawan ayat 1 tetapi mau menerima/ melakukan ayat 2. Pikiran yang ada adalah: saya mau menyenangkan orang lain sejauh saya juga disenangkan (“ro ho tu adathu asa ro au tu adatmu”, “bila dia baik maka aku lebih baik lagi”, dll). Inilah yang disebut dengan “win-win” teori. Konsep ini muncul sejak dikemukakan oleh filsuf besar abad 18 yaitu Immanuel Kant. Pemikiran Immanuel Kant dianggap oleh dunia memberikan terobosan yang positif, namun di sisi lain dapat merusak.
Makna ‘kerukunan’. Dalam ay. 5 “Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus. Sumber ketekunan serta pengharapan itu ialah Allah. Sesungguhnya, naskah Yunani lebih tegas untuk menyatakan makna dari kerukunan itu. Kata “kerukunan” dalam bahasa Yunani, juga mengandung unsur ‘sehati-sejiwa’, dan ‘mempunyai tujuan yang sama’, dan juga ‘kesatuan dalam hubungan antar anggota jemaat’.
Apa yang terjadi sehingga ‘kerukunan’ menjadi tekanan khusus dari rasul Paulus? Ada 2 (dua) hal yang dapat kita catat, pertama, sesuai dengan ay. 4, “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci”. Bagi Paulus pengharapan bukan (bukan hanya) soal orang percaya perorangan. Pengharapan ialah pertama-tama dan terutama pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah, di mana baik Israel maupun bangsa-bangsa kafir akan masuk. Cita-cita Kerajaan itulah yang menjadi pegangan bagi jemaat. Hukum yang berlaku dalam Kerajaan itu seharusnya sudah berlaku pula dalam jemaat. Hukum itu adalah: kesatuan dalam kasih. Itulah makna pengharapan di sini. Kedua, dalam bahasa Yunani, istilah ‘kerukunan’ sama bunyinya dengan ‘sehati-sepikir’ (lihat 14:12:16). ‘Sehati-sepikir’, bukanlah bermaksud untuk menghilangkan perbedaan pendapat dalam lingkungan jemaat. Yang rasul Paulus harapkan bukan agar perbedaan dihapuskan, melainkan agar perbedaan itu diatasi. Artinya, agar orang sanggup memandang perbedaan paham itu sebagai perkara yang nisbi, tidak memutlakkannya, sebab mereka melihatnya dari titik yang lebih tinggi, yang menjadi titik kesatuannya, yaitu Yesus Kristus. Jadi, kita boleh berselisih pendapat, namun kita harus memelihara kesatuan persaudaraan, kerukunan. Maka diharapkan tidak boleh setiap orang, kelompok memaksakan pendapatnya kepada pihak lain. Tujuan kerukunan. Dalam ay. 6 sangat jelas dikatakan bahwa “sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus”. Bila diterjemahkan secara harfiah, kata ‘satu suara’ dapat disejajarkan dengan ‘satu mulut’. Orang/jemaat yang selalu bertikai, bertengkar tidak akan dapat sehati, dan suara itu akan diarahkan kepada hal-hal yang justru membawa mereka kepada kehancuran. Suara dipakai untuk menghakimi, menghina, mengancam, dan lain-lain. Hanya jemaat yang bersatu (satu hati) dapat sungguh-sungguh satu suara.
Jemaat Tuhan Yesus Kristus memiliki terlalu banyak perbedaan latar belakang: warna kulit, ras, klas sosial-ekonomi, budaya, pendidikan, dan lainnya. Semua perbedaan tersebut tidak akan membawa ke arah kesatuan yang sejati, kalau tidak dilandasi kesatuan Roh. Beberapa pasangan rekan saya dapat membangun keluarga, sekalipun mereka berbeda secara fisik, antara lain: seorang gadis keturunan Tionghoa dan seorang pemuda Papua ataupunseorang wanita Ambon yang cantik dan seorang pemuda Jawa yang cacat akibat kecelakaan. Hal itu dapat mereka lakukan karena mereka telah dipersatukan secara Roh oleh Tuhan Yesus Kristus. Kesatuan yang benar yang dibangun oleh anak-anak Tuhan tidak dilandasi oleh kesamaan-kesamaan jasmaniah dan mental, tapi dilandasi oleh Roh Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus telah menjadi pintu yang memungkinkan orang dari berbagai latar belakang menyatu.
Tidak selalu mudah bagi kita untuk menemukan realisasi makna “kerukunan”, bahkan dalam hidup berjemaat. Padahal gereja yang sehat adalah gereja yang jemaatnya hidup dalam kerukunan, yaitu situasi saat seluruh anggota bersatu hati dan bersuara memuliakan Tuhan. Paulus melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Roma mengenai kehidupan berjemaat. Sebelumnya ia telah mengingatkan jemaat di Roma untuk tidak saling menghakimi (14:1-13a) dan tidak menjadi batu sandungan bagi sesama ( 14:13b-23). Kini Paulus meminta jemaat Roma untuk aktif menciptakan kerukunan. Dasar dari pengajaran dan tuntutan kerukunan ini adalah hidup Kristus sendiri (15:3, 7). Tindakan aktif pertama yang dapat dilakukan adalah menanggung beban sesama kita (1). Pepatah mengatakan, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Golongan kuat kemungkinan besar adalah kaum berada, sebaliknya golongan lemah adalah kaum miskin. Saling menolong dan menanggung beban bahkan akan meruntuhkan batas-batas di antara umat manusia yang saling bermusuhan. Kedua, orientasi hidup orang Kristen seharusnya tidak berpusat pada apa yang menguntungkan dirinya sendiri, tetapi apa yang membawa kebaikan dan membangun orang lain (2). Semakin dewasa iman kita, semakin kita memikirkan kebaikan dan kemajuan orang lain yang ada di sekitar kita. Ketiga, kerukunan terjadi pada saat kita merelakan diri menerima orang lain dengan kelebihan dan kekurangannya (7).
Kesatuan dalam doa, nyanyian, pemberitaan Firman, dan juga dalam pelayanan-pelayanan kasih lainnya adalah bukti orang/jemaat yang menghidupi kerukunan.
Satu tubuh ini terdiri dari berbagai pribadi yang tergabung di dalamnya, maka sikap yang seharusnya dijalankan agar tubuh tersebut merupakan satu kesatuan adalah:
a. yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri; setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya (Roma 15:1-2).
Hal ini adalah point yang utama yang harus dijalankan. Kesatuan tubuh dapat terjadi kalau jemaat mengalami kedewasaan. Persekutuan di dalam gereja akan berjalan dengan baik kalau orang-orang yang ada di dalamnya mau bertumbuh untuk menjadi dewasa. Pendeta yang beres akan mendidik jemaatnya agar dapat mandiri, mendidik jemaat supaya menjadi kuat dan bahkan bisa menguatkan orang lain, bukan hanya sendiri benar tetapi juga bisa mendorong orang lain untuk kembali kepada kebenaran, bukan sendiri dewasa tetapi juga bisa membantu mendewasakan orang lain.
Konsep dalam ayat di atas sudah diketahui banyak orang tetapi justru dilawan oleh banyak orang karena manusia tidak suka orang lain yang diperhatikan, manusia suka semua orang memperhatikan dia. Semua manusia suka kalau egoisitas/ kesenangan dirinya yang digarap. Di sinilah terjadi ketegangan antara mau menyenangkan orang lain tetapi juga masih ingin menyenangkan diri. Akibatnya: manusia cenderung melawan ayat 1 tetapi mau menerima/ melakukan ayat 2. Pikiran yang ada adalah: saya mau menyenangkan orang lain sejauh saya juga disenangkan (“ro ho tu adathu asa ro au tu adatmu”, “bila dia baik maka aku lebih baik lagi”, dll). Inilah yang disebut dengan “win-win” teori. Konsep ini muncul sejak dikemukakan oleh filsuf besar abad 18 yaitu Immanuel Kant. Pemikiran Immanuel Kant dianggap oleh dunia memberikan terobosan yang positif, namun di sisi lain dapat merusak.
Makna ‘kerukunan’. Dalam ay. 5 “Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus. Sumber ketekunan serta pengharapan itu ialah Allah. Sesungguhnya, naskah Yunani lebih tegas untuk menyatakan makna dari kerukunan itu. Kata “kerukunan” dalam bahasa Yunani, juga mengandung unsur ‘sehati-sejiwa’, dan ‘mempunyai tujuan yang sama’, dan juga ‘kesatuan dalam hubungan antar anggota jemaat’.
Apa yang terjadi sehingga ‘kerukunan’ menjadi tekanan khusus dari rasul Paulus? Ada 2 (dua) hal yang dapat kita catat, pertama, sesuai dengan ay. 4, “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci”. Bagi Paulus pengharapan bukan (bukan hanya) soal orang percaya perorangan. Pengharapan ialah pertama-tama dan terutama pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah, di mana baik Israel maupun bangsa-bangsa kafir akan masuk. Cita-cita Kerajaan itulah yang menjadi pegangan bagi jemaat. Hukum yang berlaku dalam Kerajaan itu seharusnya sudah berlaku pula dalam jemaat. Hukum itu adalah: kesatuan dalam kasih. Itulah makna pengharapan di sini. Kedua, dalam bahasa Yunani, istilah ‘kerukunan’ sama bunyinya dengan ‘sehati-sepikir’ (lihat 14:12:16). ‘Sehati-sepikir’, bukanlah bermaksud untuk menghilangkan perbedaan pendapat dalam lingkungan jemaat. Yang rasul Paulus harapkan bukan agar perbedaan dihapuskan, melainkan agar perbedaan itu diatasi. Artinya, agar orang sanggup memandang perbedaan paham itu sebagai perkara yang nisbi, tidak memutlakkannya, sebab mereka melihatnya dari titik yang lebih tinggi, yang menjadi titik kesatuannya, yaitu Yesus Kristus. Jadi, kita boleh berselisih pendapat, namun kita harus memelihara kesatuan persaudaraan, kerukunan. Maka diharapkan tidak boleh setiap orang, kelompok memaksakan pendapatnya kepada pihak lain. Tujuan kerukunan. Dalam ay. 6 sangat jelas dikatakan bahwa “sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus”. Bila diterjemahkan secara harfiah, kata ‘satu suara’ dapat disejajarkan dengan ‘satu mulut’. Orang/jemaat yang selalu bertikai, bertengkar tidak akan dapat sehati, dan suara itu akan diarahkan kepada hal-hal yang justru membawa mereka kepada kehancuran. Suara dipakai untuk menghakimi, menghina, mengancam, dan lain-lain. Hanya jemaat yang bersatu (satu hati) dapat sungguh-sungguh satu suara.
Jemaat Tuhan Yesus Kristus memiliki terlalu banyak perbedaan latar belakang: warna kulit, ras, klas sosial-ekonomi, budaya, pendidikan, dan lainnya. Semua perbedaan tersebut tidak akan membawa ke arah kesatuan yang sejati, kalau tidak dilandasi kesatuan Roh. Beberapa pasangan rekan saya dapat membangun keluarga, sekalipun mereka berbeda secara fisik, antara lain: seorang gadis keturunan Tionghoa dan seorang pemuda Papua ataupunseorang wanita Ambon yang cantik dan seorang pemuda Jawa yang cacat akibat kecelakaan. Hal itu dapat mereka lakukan karena mereka telah dipersatukan secara Roh oleh Tuhan Yesus Kristus. Kesatuan yang benar yang dibangun oleh anak-anak Tuhan tidak dilandasi oleh kesamaan-kesamaan jasmaniah dan mental, tapi dilandasi oleh Roh Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus telah menjadi pintu yang memungkinkan orang dari berbagai latar belakang menyatu.
Tidak selalu mudah bagi kita untuk menemukan realisasi makna “kerukunan”, bahkan dalam hidup berjemaat. Padahal gereja yang sehat adalah gereja yang jemaatnya hidup dalam kerukunan, yaitu situasi saat seluruh anggota bersatu hati dan bersuara memuliakan Tuhan. Paulus melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Roma mengenai kehidupan berjemaat. Sebelumnya ia telah mengingatkan jemaat di Roma untuk tidak saling menghakimi (14:1-13a) dan tidak menjadi batu sandungan bagi sesama ( 14:13b-23). Kini Paulus meminta jemaat Roma untuk aktif menciptakan kerukunan. Dasar dari pengajaran dan tuntutan kerukunan ini adalah hidup Kristus sendiri (15:3, 7). Tindakan aktif pertama yang dapat dilakukan adalah menanggung beban sesama kita (1). Pepatah mengatakan, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Golongan kuat kemungkinan besar adalah kaum berada, sebaliknya golongan lemah adalah kaum miskin. Saling menolong dan menanggung beban bahkan akan meruntuhkan batas-batas di antara umat manusia yang saling bermusuhan. Kedua, orientasi hidup orang Kristen seharusnya tidak berpusat pada apa yang menguntungkan dirinya sendiri, tetapi apa yang membawa kebaikan dan membangun orang lain (2). Semakin dewasa iman kita, semakin kita memikirkan kebaikan dan kemajuan orang lain yang ada di sekitar kita. Ketiga, kerukunan terjadi pada saat kita merelakan diri menerima orang lain dengan kelebihan dan kekurangannya (7).
Kesatuan dalam doa, nyanyian, pemberitaan Firman, dan juga dalam pelayanan-pelayanan kasih lainnya adalah bukti orang/jemaat yang menghidupi kerukunan.