Rabu, 13 Januari 2010

Renungan Hari Kamis, 14 Januari 2010

Menyebut Saudara
Ibrani 2 : 11
"Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara."
Apakah Anda tahu hal yg paling menyakitkan bagi orang tua, apabila harus menerima kenyataan bahwa putri kesayangannya hamil diluar nikah, atau puteranya menjadi pencandu narkoba ataupun masuk penjara. Melalui kelakuan anak2nya tsb, maka nama baik orang tuanya telah dicemari, cobalah renungkan oleh Anda apabila putri dari seorang hamba Tuhan atau panatua gereja hamil diluar nikah, apakah ini tidak akan menjadi gunjingan yg sangat menyakitkan bagi orang tuanya? Tetapi Nama Allah kita yg maha Kudus lebih suci dan lebih harus dimuliakan daripada nama para Pdt ataupun pembimbing agama manapun juga, kita cemari dgn kelakukan kita yg tidak senonoh, apakah hal ini tidak akan menyakitkan perasaan Allah Bapa kita di surga? Dimana kita berdoa Bapa Kami tetapi sebenarnyalah si Iblis lah yg menjadi bapa Lho!
Tidak bisa dipungkiri bahwa sdh merupakan ambisi dan obsesi yg melekat di dlm diri kita, dimana kitalah yg sebenarnya ingin dikuduskan namanya, karena kita ingin menjadi seperti Allah. Reinhold Niebuhr menamakannya "will-to-power" ato naluri mengejar kekuasaan, oleh sebab itulah kita lebih sibuk memoles dan menguduskan nama kita sendiri, daripada menguduskan nama Allah, sebab dgn mana kita bisa pamer dgn mobil mewah yg kita miliki. Hal ini bukanlah sesuatu yg baru ketika jaman sesepuh di Alkitab pun sdh demikian.Pernahkah kita merenungkan, betapa istimewanya menjadi anak-anak Allah? Sekali lagi, coba lihat keluar, dan lihatlah langit dan bumi. Itulah ciptaan Allah. Masihkah kita menghargai segala sesuatu yang diciptakan secara luar biasa ini? Kadang, karena begitu terbiasanya melihat segala sesuatu, kita lebih sering mendefinisikan keindahan sebagai "sesuatu yang menguntungkan" bagi diri kira sendiri. Kalau sesuatu itu menguntungkan,kita mengatakan itu baik. Sebaliknya, jika kita mengalami kerugian, kita mengatakan itu buruk. Terhadap seekor nyamuk, misalnya, kita mengatakan binatang itu buruk. Tetapi sebenarnya jika kita perhatikan baik-baik, bukankah nyamuk juga suatu ciptaan yang istimewa? Perhatikan betapa lincah dan cepatnya nyamuk terbang, sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata padahal sayapnya begitu kecil! Terlepas dari menguntungkan atau merugikan, di mana-mana kita dapat melihat keagungan Allah dalam ciptaan-Nya.
Tetapi, itu belum semuanya. Allah bukan hanya mulia dalam penciptaan, Ia terlebih besar lagi dalam keselamatan. Ciptaan adalah wujud dari kekuasaan Allah, tetapi keselamatan adalah wujud dari kasih-Nya yang besar. Allah yang sempurna dalam ciptaan juga menjadi Allah yang sempurna dalam keselamatan; Ia telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi manusia ciptaan-Nya yang telah jatuh dalam dosa. Untuk itu, Anak Allah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi manusia, sama seperti mahluk ciptaan. Dia yang menciptakan kini menjadi mahluk ciptaan. Kita, sebagai manusia, mungkin tidak akan pernah bisa memahami apa dan bagaimana jalan-Nya, sehingga bisa terjadi demikian. Memang, sekali waktu ada orang yang meributkan tentang kelahiran seorang bayi dari seorang anak dara. Mereka mengatakan bahwa itu adalah hal yang tidak masuk akal, hanya reka-rekaan saja. Tetapi sebenarnya, yang lebih mustahil lagi adalah ini: mana mungkin TUHAN mau menjadi manusia? Kehadiran-Nya melalui rahim seorang dara yang tidak pernah terjamah laki-laki hanyalah bukti bahwa Ia sebenarnya tidak tercemar benih dunia, dimana keajaiban yang sebenarnya bukan terletak pada dara yang melahirkan, melainkan pada Allah yang mau melawat manusia dan menjadi salah satu dari antaranya. Kita baru saja merenungkan betapa hebat ciptaan, dan betapa lebih hebatnya lagi Allah yang menciptakan. Bagaimana mungkin, Allah yang sedemikian mulia dan agung melebihi keagungan seantero alam, mau menjadi manusia?

Nyatanya, Ia menjadi sama seperti salah seorang dari kita. Dia datang untuk menguduskan manusia, yang diterima-Nya sebagai sesama-Nya, bahkan sebagai saudara-Nya. Tuhan memandang bahwa orang-orang yang percaya dan mengikuti-Nya adalah keluarga-Nya, sahabat-sahabat-Nya. Manusialah yang menjadi saudara-Nya, terdiri dari darah dan daging, yang bodoh dan lemah, dan berdosa. Dan justru karena dosa inilah, Ia datang! Bukan sekedar hadir, tetapi menjalani suatu rancangan yang luar biasa. Ya, luar biasa karena dengan rancangan itu Tuhan memusnahkan iblis yang berkuasa atas maut. Juga luar biasa, karena untuk mencapainya Tuhan harus melalui bukit Golgota dan kematian yang penuh derita dan kengerian di atas kayu salib. Untuk manusia inilah! Syukurlah, rancangan-Nya tidak berhenti di Golgota, melainkan diteruskan dengan kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Kemenangan yang total, yang tidak terlawan oleh iblis mana pun.
Bagaimana kita tidak tunduk pada Sang Pencipta, yang telah turun sedemikian rupa untuk memberikan keselamatan dan kemenangan bagi manusia? Apa yang Ia sudah lakukan melebihi semua kuasa, semua hal yang diingini maupun ditakuti orang di kolong langit. Karya-Nya bahkan melebihi maut; apalagi yang menakutkan dari maut, sedangkan Tuhan Yesus -- yang adalah Allah – sudah mengalahkannya, sekali untuk selamanya?
Padahal, apa yang ada pada manusia ini? Mau dibilang pandai, orang yang paling berhikmat seperti Salomo saja bisa bertindak sangat bodoh. Mau dibilang bijaksana, nyatanya mengulang-ulang kesalahan yang sama, melebihi keledai. Mau dibilang setia, baru saja ditinggal sebentar sudah berlaku khianat. Mau dibilang pemberani, nyatanya panglima perang yang perkasa harus didampingi perempuan untuk berperang. Dari berbagai segi, mungkin lebih baik malaikat saja yang ditolong -- bukankah malaikat pun ada yang berbuat dosa dan dibuang dari hadapan Allah? Tetapi belas kasihan itu milik Allah, sepenuhnya ada dalam tangan-Nya untuk diberikan. Ia mengasihani anak-anak Abraham -- bapa orang beriman – bukan malaikat-malaikat. TUHAN mengambil rupa manusia, bersedia terpisah dari Bapa-Nya di Surga, untuk orang percaya, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya. Tuhan menjadi pengantara, mengambil peran sebagai Imam Besar yang menghubungkan antara manusia yang berdosa dengan Allah yang kudus. Sebagai manusia, Tuhan Yesus tahu betul pergumulannya serta sanggup memberikan belas kasihan sesuai dengan keadaan hidup manusia. Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus setia dan tidak tergoyahkan dalam menyatakan kehendak Bapa. Di atas kayu salib, pengorbanan-Nya mendamaikan manusia dengan Allah. Dengan demikian, bukan saja Tuhan secara sempurna berhasil menyediakan jalan keselamatan, Ia juga sepenuhnya memahami segala keterbatasan; setiap kelemahan dan kebodohan anak-anak-Nya diketahui-Nya. Dan karena Ia tahu, Ia juga sanggup menolong saudara-saudara-Nya. Tuhan tahu seperti apa pencobaan itu bagi manusia, Ia tahu daya tariknya, ancamannya, tantangannya. Ia tahu kepedihannya mereka yang dicobai, karena diri-Nya sendiri telah mengalami cobaan yang paling hebat yang dapat dialami seorang manusia.



Jamita Evangelium Minggu Advent II – 8 Desember 2024

Pauli  Hamu Dalan Di Jahowa       (Persiapkan Jalan Untuk Tuhan) Jesaya 40 :1 - 5   1)      Huria nahinaholongan dibagasan Jesus Kri...