Tak Memandang Muka
Galatia 3 : 28
Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.
Didalam Kitab Suci dikatakan , Tuhan tidak pernah membeda-bedakan manusia. Semuanya sama derajatnya dihadapan Tuhan ketika datang kepadaNya . Mengapa manusia suka membeda-bedakan sesamanya dengan cara melihat derajatnya ketika berhadapan ? Tuhan yang memiliki Maha Kekuasaan saja memperlakukan manusia dengan seadil-adilnya. Mengapa manusia yang hanya memiliki sedikit kekuasaan saja suka semena-mena pada sesamanya ? Tuhan saja bisa selalu untuk mengampuni kita atas kesalahan - kesalahan yang telah dilakukan . Mengapa kita begitu keras kepala untuk menutup pintu pengampunan pada yang bersalah ? Apakah kita merasa lebih tinggi dan berkuasa daripada Tuhan , sehingga TIDAK PATUH pada perintah-perintahNya yang telah dituliskan didalam Kitab Suci?
”Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN.” (Amsal 22:2). Dalam BIMK tertera: ”Orang kaya dan orang miskin mempunyai satu hal yang sama: TUHANlah yang menciptakan mereka semua.” Memang ada bedanya. Namun, satu hal tetap sama: semuanya ciptaan Tuhan. Situasi dan kondisi mereka pun tak lepas dari pemeliharaan Tuhan. Oleh karena itu, si kaya tak perlu tinggi hati dan si miskin tak usah rendah diri. Bagaimanapun, keberadaan mereka tak lepas dari campur tangan Allah.
Persoalannya memang sering di sini. Manusia acap membeda-bedakan orang berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Dengan tajam, kepada kedua belas suku di perantauan, Yakobus menulis: ”janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (Yakobus 2:1). TAK MEMANDANG MUKA Yesus paham setiap orang berbeda. Namun, Guru dari Nazaret ini tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk membedakan. Ketika melangkahkan kaki-Nya ke Tirus Yesus menganggap orang Tirus sama berharganya dengan orang Yahudi. Bahkan di antara orang non-Yahudi pun, sikap dan tindakan Yesus sama.
Bukan kebetulan, jika penulis Injil Markus menempatkan kisah penyembuhan seorang bisu-tuli setelah penyembuhan anak perempuan dari seorang ibu Yunani keturunan Siro-Fenesia.
Kisah pertama penuh dialog—bahkan terasa kasar. Ibu yang ingin anak perempuannya sembuh rela mengibaratkan dirinya sebagai anjing! Itu bukanlah sekadar kerendahan hati. Juga bukan trik yang akan membuat Yesus iba. Sesungguhnya, pengibaratan itu merupakan ungkapan iman.
Perempuan Siro-Fenesia itu menyadari, berkait dengan penyelamatan Allah, manusia secara asasi bergantung penuh kepada Allah. Allahlah yang berdaulat.
Ibu itu tak mempersoalkan mengapa Allah memilih Israel. Pemilihan itu memang bukan soal adil atau tidak adil, namun soal kedaulatan. Dia menerima kedaulatan Allah tanpa syarat. Ibu itu agaknya juga menyadari, Allah memilih Israel untuk menjadi berkat bagi bangsa lain.
Perempuan Siro-Fenesia itu percaya bahwa kasih Tuhan tak hanya buat Israel. Israel hanya alat. Tak heran, dia berani mendebat Sang Guru dari Nazaret yang sedang naik daun itu.
Pengibaratan sebagai anjing, malah menjadi jalan masuk bagi perempuan itu untuk memohon anugerah Allah. Dia tak merasa perlu mendapatkan roti utuh. Remah-remah pun cukup baginya.
Tampaknya dia paham, baik remah maupun utuh, toh namanya tetap roti. Dengan kata lain, yang penting bukan besar atau kecilnya anugerah, tetapi anugerah Allah itu sendiri. Yesus, yang mengagumi imannya, menyembuhkan anaknya.