Rabu, 06 Oktober 2010

Renungan Hari Minggu, tgl. 3 Oktober 2010 Minggu XVIII Setelah Trinitatis

Kristus Kepala Keluarga
Efesus 5 : 22 – 33
Pernikahan bukan hanya antar dua pribadi manusia, namun ada kehadiran pribadi Sang Pencipta di dalamnya. Tujuan utama dari pernikahan Kristen “bukanlah” untuk memperoleh kebahagiaan, namun sebagai sarana untuk saling bertumbuh secara karakter, sehingga menjadi serupa dengan karakter Kristus. Yang artinya, kebahagiaan adalah “anugerah” (hadiah). Salah satu bentuk pertumbuhan yang dimaksud adalah bagaimana kita menyadari akan peran (role) utama dari seorang suami maupun seorang isteri. Suami adalah kepala keluarga, isteri adalah penolong yang sepadan (pola unequal ness). Pertanyaan kita mungkin, mengapa konsepnya harus seperti ini? Apakah Allah pilih kasih? Untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya bisa diterima dalam iman dan ketaatan, sebab tidak selalu jalan Allah bisa dipahami.
Keluarga-keluarga yang ada dimuka bumi ini, adalah merupakan rancangan Allah sendiri. Dialah yang berinisiatif menciptakan keluarga di muka bumi ini. Ketika Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah serta menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya, dan menempatkannya dalam taman Eden, maka Tuhan sendirilah yang berfirman, “…tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja…”.  Ia sendiri yang mengambil “ salah satu rusuk “ dari manusia itu, dan dari “ rusuk “ itu dibangunNyalah seorang perempuan. Pengertian “ rusuk “ disini adalah ruang [chamber]. Jadi ketika Tuhan Allah mengambil “ruang” dari manusia itu, maka manusia itu menjadi
“tidak lengkap” lagi tanpa seorang perempuan. Tanpa seorang perempuan, manusia itu tidak dapat
memultiplikasikan dan memperluas dirinya melalui anak-anak ; karena hanya perempuan [ womb-man = manusia rahim ] yang dapat memberikan anak-anak kepadanya. Tanpa seorang perempuan, maka manusia itu kehilangan “sebagian dirinya”, yang membuatnya “tidak utuh”. Tetapi semua ini adalah rancangan sang Pencipta.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, kita lihat ada banyak orang mencoba membangun keluarga. Namun tidak jarang keluarga-keluarga ini hancur berantakan dan tercerai-berai setelah sejangka waktu berjalan. Atau, kalaupun tidak bercerai, kehidupan yang ada di dalamnya sudah tidak seperti keluarga lagi. Masing-masing anggota keluarga sudah berjalan sendiri-sendiri. Suami, istri dan anak-anak mempunyai tujuan hidup masing-masing. Walaupun mereka masih hidup satu rumah, tidak ada lagi kesatuan seperti yang direncanakan Allah semula bagi suatu keluarga. Ini bukan saja terjadi pada keluarga-keluarga pada umumnya, namun seringkali terjadi juga dalam keluarga-keluarga yang menyebut dirinya Kristen. Mengapa ? Supaya genaplah firman Tuhan, “Jikalau
bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang membangunnya…”. Jika bukan Tuhan yang membangun keluarga, sia-sialah usaha orang membangunnya, baik itu orang-orang pada umumnya maupun orang Kristen.
Seorang isteri digambarkan seperti jemaat bagi Kristus. Jemaat tidak pernah bisa mengajar dan menasihati Kristus. Jemaat yang baik senantiasa taat dan tunduk kepada Kristus, dan tidak usah jemaat takut untuk disesatkan oleh Kristus. Akan tetapi para suami bukanlah Kristus, lalu bagaimana sikap seorang isteri terhadap suami yang menyimpang? Rasul Petrus berkata : “Jika ada di antara para suami yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka”. Jadi ketaatan para isteri kepada Tuhan dicerminkan oleh kesalehan mereka, ketundukan mereka pada suami mereka. Hal itulah yang diperkenan Tuhan sehingga Allah yang bertindak untuk mengubah suami dan mempertobatkan mereka. Bukan para isteri yang membuat suami berubah, akan tetapi Allah yang melihat kesalehan isteri mereka yang mengubahkan para suami, isteri tidak sanggup mengubah suami.
Isteri adalah penolong yang harus tunduk. Tanpa Roh Kudus pastilah seorang isteri akan gagal berfungsi sebagai penolong dan sekaligus harus menghormati dan menaatinya. Hanya dengan pertolongan Kristus melalui Roh Kudus saja seorang isteri bisa tunduk pada suaminya.   Suami adalah kepala isteri. Suami digambarkan dengan Kristus. Seorang suami merupakan Kristus bagi isteri mereka, hal itu yang menyebabkan isteri harus tunduk pada suaminya. Sebagaimana Kristus rela menyerahkan diri-Nya bagi jemaat-Nya dan mati bagi mereka, maka selayaknya suami meniru perlakuan Kristus terhadap jemaat menjadi perlakuan suami terhadap isterinya.

Jamita Epistel Minggu XXIII D.Trinitatis – 3 Nopember 2024

Manghaholongi Tuhan Debata Dohot Dongan Jolma  Mengasihi Tuhan Allah Dan Sesama Manusia  5 Musa 6: 1 – 9 / Ulangan.   a)        Huri...