Jumat, 18 Desember 2009

Renungan Hari Jumat, 18 Desember 2009

Saling Menasihati
Ibrani 10 : 25
"Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita seperti kebiasaan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat."
Bumi semakin tidak layak huni. Penyakit aneh juga merajalela. Dan, masih banyak yang dapat didaftarkan. Singkatnya, kesulitan hidup semakin mendera umat manusia. Tekanan hidup pun semakin hebat. Tidak heran jika bilangan orang tidak waras meningkat tajam.
Kesukaran hidup berdampak luar biasa. Gereja pun merasakan imbasnya, setidaknya dalam pola ibadah. Sebagai contoh, liturgi ibadah yang semakin mengutamakan sentuhan emosional. Kata-kata pujian lebih mengutamakan sentuhan perasaan. Dan, hal ini tepat karena di luar sana tekanan hidup semakin hebat. Nah, begitu gereja menawarkan hal semacam itu, tentu sangat akomodatif bagi umat yang sedang dalam masalah. Gereja harus bergerak memberikan nasihat dan pandangan yang menyentuh hati jemaat. Maka setiap orang Kristen harus menilai hidupnya sendiri sebelum mencoba untuk memberi nasihat kepada orang lain. Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dipakai sebagai kriteria pribadi:

1. Dapatkah saya berkata bahwa hidup saya "penuh dengan kebaikan"? Artinya, apakah saya hidup kudus dan benar di hadapan Allah? Jika saya secara sengaja melanggar Kitab Suci, maka saya tidak layak menasihati orang lain. Saya harus membereskan dosa-dosa dalam hidup saya sebelum saya mencoba untuk membereskan dosa dalam hidup orang lain.
2. Apakah saya sungguh-sungguh tahu apa yang diajarkan Alkitab tentang kehidupan yang saleh dan benar? Jika saya tidak tahu, saya belum mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang Alkitab. Sekali lagi, saya belum pantas untuk menasihati orang lain.
Ini tidak berarti bahwa saya harus tahu semua yang harus diketahui mengenai Kitab Suci sebelum saya bisa memberi nasihat kepada orang lain. Tetapi saya harus yakin bahwa saya sungguh- sungguh tahu apa yang diajarkan di dalam Alkitab dalam salah satu bidang, sebelum saya menasihati orang lain.
3. Apabila saya menasihati atau memperingatkan orang (atau orang- orang) Kristen lain, apakah saya berbuat demikian sambil menyatakan kasih dan perhatian saya? Atau, pernahkah saya melakukannya dengan sikap yang kasar dan dilihat oleh orang lain seolah-olah saya marah? Ingatlah, orang Kristen yang "dapat mengajar" orang lain adalah orang yang "ramah", "tidak boleh bertengkar", dan yang "dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan" (2Timotius 2:24,25).
4. Apabila seorang Kristen memerlukan suatu nasihat mengenai suatu dosa khusus, apakah saya menemui dia secara pribadi, atau apakah saya "berbicara melalui mimbar" sehingga kelihatan seolah-olah saya berbicara kepada semua orang? Apakah saya memakai orang banyak untuk menghindari pembicaraan kepada hanya satu orang?
5. Apakah saya bertekun dalam menasihati tanpa menjengkelkan orang lain dan tanpa ingin menguasai?
6. Apakah saya menasihati orang lain -- bukan untuk menjatuhkan atau memalukan mereka, melainkan untuk membangun mereka?
7. Apakah saya menasihati orang lain dengan tujuan dasar satu- satunya -- menolong mereka agar menjadi lengkap dan dewasa di dalam Kristus?
8. Apakah struktur gereja kita memungkinkan dan memudahkan semua anggota tubuh Kristus terlibat dalam sikap "saling menasihati"? Atau, apakah struktur gereja itu begitu rupa sehingga hanya "pendeta" saja yang terlibat?

Banyak pertemuan di gereja diadakan bukan untuk fungsi tubuh yang seharusnya. Tidak ada kesempatan untuk sama-sama membagikan dan sama-sama "hidup sebagai satu tubuh". Segala sesuatu direncanakan secara ketat dan terorganisasi sehingga anggota-anggota gereja tidak dapat memberikan ajaran dan nasihat diberikan secara spontan. Apabila hal ini juga terjadi di dalam gereja Anda, Anda perlu dengan saksama menilai struktur gereja Anda dan mengadakan perubahan seperlunya. Setiap gereja tentu ingin memiliki ibadah yang hidup dan menyegarkan. Tidak heran jika akhir-akhir ini gereja berlomba-lomba membuat ibadah jemaatnya "lebih hidup." Mereka ganti liturgi yang ada dengan liturgi populer atau trendy. Menurut Pdt. Juswantori Ichwan, M. Th, banyak gereja mengubah jenis nyanyian atau alat musik yang dipakai. Cara ini dianggap bisa membuat ibadah lebih semarak, lebih ramai, lebih populer, namun belum tentu menjadi lebih hidup! Sebuah ibadah baru dikatakan hidup jika melaluinya terjadi perjumpaan dengan Allah (union with God), dimana lewat komunikasi selama ibadah, jemaat menjadi "sehati sepikir" dengan Allah. Jemaat jadi sadar apa yang menjadi kehendak Allah bagi hidupnya. Apa hasilnya? Tuhan dimuliakan (glorification) dan orang percaya dikuduskan (sanctification).
Dapat dikatakan bahwa ibadah yang hidup adalah ibadah yang melaluinya seseorang bisa mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Dan perjumpaan itu mentransformasi hidup seseorang. Dalam ibadah seharusnya, orang dapat merasakan kehadiran Tuhan yang menyapa umat-Nya bahkan menjelang kedatangan Tuhan setiap orang diperlengkapi dengan karunia rohani dan semakin sadar hingga bertobat. Amin (EM).


Jamita Epistel Minggu ROGATE – 5 Mei 2024

Sai Na Manjalo DO Nasa Na Mangido     (Setiap Orang Yang Meminta Akan Menerima) Psalmen 28: 1  – 2   a)       Huria na hinaholongan ...