Menyambut Yesus Dengan Girang
Matius 21 : 9
Matius 21 : 9
"Dan orang banyak yang berjalan didepan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalan nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!”
Injil ini menyaksikan bagaimana rasa hormat dan sukacita penduduk kota Yerusalem saat mereka menyambut kedatangan Tuhan Yesus masuk kota Yerusalem. Mereka menghamparkan pakaian-pakaian mereka di jalan agar keledai yang ditunggangi Tuhan Yesus berjalan di atas pakaian mereka. Penduduk kota Yerusalem menyambut kedatangan Tuhan Yesus ke kota Yerusalem seperti mereka menyambut kedatangan seorang raja. Sehingga suasana kota Yerusalem pada waktu itu sangat meriah. Luk. 19:37 menyaksikan: "Ketika Ia dekat Yerusalem, di tempat jalan menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena mujizat yang telah mereka lihat". Para murid dan penduduk kota Yerusalem sangat gembira dan memuji Allah saat mereka melihat Tuhan Yesus masuk kota Yerusalem.
Kita tidak mengetahui motif para murid dan penduduk Yerusalem yang gembira dan bersorak-sorai menyambut kedatangan Tuhan Yesus. Tapi kemungkinan mereka membayangkan Tuhan Yesus datang ke kota Yerusalem sebagai seorang Messias politis untuk membebaskan mereka dari belenggu penjajahan bangsa Romawi. Bukankah Tuhan Yesus mempunyai kuasa mujizat yang hebat? Padahal maksud nubuat dari nas Zakh. 9:9 adalah agar penduduk kota Yerusalem mau bersorak-sorai menyambut Messias yang menyatakan keadilan dan menghadirkan kasih Allah yang lemah-lembut. Mereka sama sekali tidak dianjurkan untuk bersorak-sorai menyambut seorang Messias yang hanya menggiring mereka kepada kekerasan dan peperangan melawan bangsa-bangsa kafir.
Dalam perjalanan sejarah umat Israel, berulangkali tampil orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Messias dengan membawa umat Israel dalam berbagai pemberontakan melawan bangsa-bangsa kafir. Sebagai bangsa yang sering terjepit dan terjajah, mereka sangat mengharapkan memiliki seorang pemimpin yang kuat seperti Daud atau Salomo sehingga mereka dapat memiliki kehidupan yang serba tenteram, tanpa penjajahan dan tanpa penindasan. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa upaya penyelesaian dengan kekerasan senjata ternyata tidak pernah langgeng. Seorang yang mengaku dirinya sebagai Messias yaitu Makabe, pada tahun 164-167 sM melawan Antiokhus IV penguasa Siria pada akhirnya justru membawa kematian banyak umat Israel secara mengerikan. Karena itu kerajaan yang didirikan oleh Tuhan Yesus adalah kerajaan damai-sejahtera yang menghadirkan kasih dan keadilan Allah. Dengan kerajaan damai-sejahtera dan kasih yang dinyatakan oleh Kristus, tidak berarti umat Allah hanya berdiam diri untuk dijajah dan ditindas oleh bangsa lain. Mereka wajib melawan dan menentang segala bentuk penjajahan, ketidakadilan dan tindakan yang sewenang-wenang, tetapi mereka harus melawan tanpa kekerasan senjata. Mereka wajib terus melawan para penjajah di dunia ini, tetapi dengan kekuatan kasih yang mampu menghadirkan damai-sejahtera yang menyeluruh dalam kehidupan umat manusia.
Pola kehidupan kita seringkali tidak berbeda jauh dengan umat Israel. Pada umumnya kita lebih cenderung menyambut kedatangan Allah dengan gembira dan sukacita ketika tampil dengan kuasaNya yang menakjubkan. Pada saat kita ditindas dan terjepit oleh para musuh, kita mengharapkan Allah segera menolong diri kita dengan kuasaNya yang menghancurkan setiap musuh kita. Tetapi ketika kedatangan Allah hanya tampil secara sederhana, terkesan lemah dan sama sekali tidak menunjukkan daya kuasa sebagaimana yang kita harapkan apakah kita bersedia menyambutNya dengan gembira dan sukacita? Bagaimana ketika Kristus yang kita imani itu ternyata bukan seorang Messias dengan kuasa politis dan militerisme. Apakah kita bersedia mengiringi Dia dengan gembira dan sukacita? Lebih khusus lagi apakah kita bersedia bersama dengan Tuhan Yesus berjalan beriringan untuk menderita dan memikul salibNya? Saat Tuhan Yesus datang ke kota Yerusalem, penduduk menyambut Dia dengan berkata: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang maha tinggi" (Luk. 19:38). Tetapi tidak lama kemudian semua orang di depan pengadilan Pilatus berseru: "Salibkanlah Dia, salibkanlah Dia". Umat Yahudi sangat kecewa ketika di hadapan penguasa bangsa Romawi ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak menunjukkan kuasaNya yang luar-biasa sebagai seorang Messias. Ketika spiritualitas kita dibangun berdasarkan pemahaman kuasa Kristus selaku Juru-selamat secara duniawi dan politis, maka kita juga akan kecewa menolak kehadiranNya saat Dia berdiam diri untuk memenuhi harapan-harapan kita yang tidak sesuai dengan kehendak dan rencanaNya. Tetapi yang lebih memprihatinkan, justru pada saat kini ajaran dan teologi yang menempatkan Kristus sebagai Messias politis yang paling digemari oleh banyak orang Kristen. Mereka mengeluh-eluhkan Kristus karena kuasa supranaturalNya yang mampu menyembuhkan penyakit, mampu menyelesaian masalah hutang-piutang, memberi banyak rezeki, pekerjaan baru dan kenaikan pangkat.
Selaku orang percaya kita imani bahwa Kristus memiliki kuasa di sorga dan di bumi. Tetapi spiritualitas kita makin bertumbuh dengan sehat ketika kita secara tulus-ikhlas bersedia untuk mengiringi Tuhan Yesus dengan gembira dan sukacita justru pada saat doa-doa kita tidak terjawab, harapan-harapan yang belum dikabulkan, salib yang harus kita pikul, dan realita-realita pahit yang sedang kita hadapi. Bukankah suara Tuhan Yesus terus bergema: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Luk. 9:23) Amin (EM)
Injil ini menyaksikan bagaimana rasa hormat dan sukacita penduduk kota Yerusalem saat mereka menyambut kedatangan Tuhan Yesus masuk kota Yerusalem. Mereka menghamparkan pakaian-pakaian mereka di jalan agar keledai yang ditunggangi Tuhan Yesus berjalan di atas pakaian mereka. Penduduk kota Yerusalem menyambut kedatangan Tuhan Yesus ke kota Yerusalem seperti mereka menyambut kedatangan seorang raja. Sehingga suasana kota Yerusalem pada waktu itu sangat meriah. Luk. 19:37 menyaksikan: "Ketika Ia dekat Yerusalem, di tempat jalan menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena mujizat yang telah mereka lihat". Para murid dan penduduk kota Yerusalem sangat gembira dan memuji Allah saat mereka melihat Tuhan Yesus masuk kota Yerusalem.
Kita tidak mengetahui motif para murid dan penduduk Yerusalem yang gembira dan bersorak-sorai menyambut kedatangan Tuhan Yesus. Tapi kemungkinan mereka membayangkan Tuhan Yesus datang ke kota Yerusalem sebagai seorang Messias politis untuk membebaskan mereka dari belenggu penjajahan bangsa Romawi. Bukankah Tuhan Yesus mempunyai kuasa mujizat yang hebat? Padahal maksud nubuat dari nas Zakh. 9:9 adalah agar penduduk kota Yerusalem mau bersorak-sorai menyambut Messias yang menyatakan keadilan dan menghadirkan kasih Allah yang lemah-lembut. Mereka sama sekali tidak dianjurkan untuk bersorak-sorai menyambut seorang Messias yang hanya menggiring mereka kepada kekerasan dan peperangan melawan bangsa-bangsa kafir.
Dalam perjalanan sejarah umat Israel, berulangkali tampil orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Messias dengan membawa umat Israel dalam berbagai pemberontakan melawan bangsa-bangsa kafir. Sebagai bangsa yang sering terjepit dan terjajah, mereka sangat mengharapkan memiliki seorang pemimpin yang kuat seperti Daud atau Salomo sehingga mereka dapat memiliki kehidupan yang serba tenteram, tanpa penjajahan dan tanpa penindasan. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa upaya penyelesaian dengan kekerasan senjata ternyata tidak pernah langgeng. Seorang yang mengaku dirinya sebagai Messias yaitu Makabe, pada tahun 164-167 sM melawan Antiokhus IV penguasa Siria pada akhirnya justru membawa kematian banyak umat Israel secara mengerikan. Karena itu kerajaan yang didirikan oleh Tuhan Yesus adalah kerajaan damai-sejahtera yang menghadirkan kasih dan keadilan Allah. Dengan kerajaan damai-sejahtera dan kasih yang dinyatakan oleh Kristus, tidak berarti umat Allah hanya berdiam diri untuk dijajah dan ditindas oleh bangsa lain. Mereka wajib melawan dan menentang segala bentuk penjajahan, ketidakadilan dan tindakan yang sewenang-wenang, tetapi mereka harus melawan tanpa kekerasan senjata. Mereka wajib terus melawan para penjajah di dunia ini, tetapi dengan kekuatan kasih yang mampu menghadirkan damai-sejahtera yang menyeluruh dalam kehidupan umat manusia.
Pola kehidupan kita seringkali tidak berbeda jauh dengan umat Israel. Pada umumnya kita lebih cenderung menyambut kedatangan Allah dengan gembira dan sukacita ketika tampil dengan kuasaNya yang menakjubkan. Pada saat kita ditindas dan terjepit oleh para musuh, kita mengharapkan Allah segera menolong diri kita dengan kuasaNya yang menghancurkan setiap musuh kita. Tetapi ketika kedatangan Allah hanya tampil secara sederhana, terkesan lemah dan sama sekali tidak menunjukkan daya kuasa sebagaimana yang kita harapkan apakah kita bersedia menyambutNya dengan gembira dan sukacita? Bagaimana ketika Kristus yang kita imani itu ternyata bukan seorang Messias dengan kuasa politis dan militerisme. Apakah kita bersedia mengiringi Dia dengan gembira dan sukacita? Lebih khusus lagi apakah kita bersedia bersama dengan Tuhan Yesus berjalan beriringan untuk menderita dan memikul salibNya? Saat Tuhan Yesus datang ke kota Yerusalem, penduduk menyambut Dia dengan berkata: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang maha tinggi" (Luk. 19:38). Tetapi tidak lama kemudian semua orang di depan pengadilan Pilatus berseru: "Salibkanlah Dia, salibkanlah Dia". Umat Yahudi sangat kecewa ketika di hadapan penguasa bangsa Romawi ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak menunjukkan kuasaNya yang luar-biasa sebagai seorang Messias. Ketika spiritualitas kita dibangun berdasarkan pemahaman kuasa Kristus selaku Juru-selamat secara duniawi dan politis, maka kita juga akan kecewa menolak kehadiranNya saat Dia berdiam diri untuk memenuhi harapan-harapan kita yang tidak sesuai dengan kehendak dan rencanaNya. Tetapi yang lebih memprihatinkan, justru pada saat kini ajaran dan teologi yang menempatkan Kristus sebagai Messias politis yang paling digemari oleh banyak orang Kristen. Mereka mengeluh-eluhkan Kristus karena kuasa supranaturalNya yang mampu menyembuhkan penyakit, mampu menyelesaian masalah hutang-piutang, memberi banyak rezeki, pekerjaan baru dan kenaikan pangkat.
Selaku orang percaya kita imani bahwa Kristus memiliki kuasa di sorga dan di bumi. Tetapi spiritualitas kita makin bertumbuh dengan sehat ketika kita secara tulus-ikhlas bersedia untuk mengiringi Tuhan Yesus dengan gembira dan sukacita justru pada saat doa-doa kita tidak terjawab, harapan-harapan yang belum dikabulkan, salib yang harus kita pikul, dan realita-realita pahit yang sedang kita hadapi. Bukankah suara Tuhan Yesus terus bergema: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Luk. 9:23) Amin (EM)