Sabtu, 19 Desember 2009

Renungan Epistel Minggu Advent IV, 20 Desember 2009

Menanti Dengan Iman Pengharapan
Yudas 1: 17-21

Anggota Jemaat terdorong untuk dengan rendah hati menantikan kehadiran Tuhan yang mengubah tatanan kehidupan menjadi adil dan sejahtera. Merupakan keprihatinan bersama, kalau di tengah masyarakat kita ini, Tindak kekerasan menjadi jalan penyelesaian setiap masalah yang dihadapi baik sebagai perorangan maupun kelompok-kelompok di masyarakat/bangsa ini. Suatu gejala yang menunjukkan ketidak percayaan terhadap penegak hukum, atau bahkan terhadap Pemerintah yang seharusnya sebagai pengayom/pelindung masyarakat. Oleh sebab itu main hakim sendiri, cara penyelesaian masalah yang dianggap paling adil : “mata ganti mata gigi ganti gigi” . Namun di pihak lain, gejala tersebut juga menun-jukkan “ketinggian hati manusia”, arogansi dalam menunjukkan kuasa dan kekuatannya yang tidak boleh/ tidak mau disentuh. Soal harga diri yang begitu tinggi/ mahal, maka dengan cara apapun akan dipertahankan dan nyawa pun akan dipertaruhkan untuk itu.
Di tengah kenyataan yang mencemaskan bahkan dapat dikatakan mengerikan, Minggu depan kita sudah masuk ke masa raya Natal, yang mengingatkan kita akan kedatangan/ kehadiran Yesus Kristus Tuhan, sang Juruselamat dunia. Allah yang menjadi manusia dan bahkan rela menderita sampai mati dalam kehinaan, demi menggantikan manusia untuk menerima penghukuman atas dosa, sekalipun Dia tidak berdosa.[bnd.II Kor.5:21]
Advent mengingatkan akan penantian akan kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang kedua kali. KedatanganNya sebagai Hakim yang adil yang membawa kesejahteraan bagi manusia. Sebagai umat Tuhan, sejauh mana keyakinan percaya itu menjadi nyata dan terasa melalui kehidupan nyata di tengah masyarakat? Dan dengan demikian, dunia (orang) melihat sikap dan tindakan percaya melalui kerendahan hati untuk rela diubah oleh Tuhan [Roma 12 : 2]; sehingga dapat membawa perubahan pula bagi masyarakat/ bangsa ini. Aku tidak akan menjamah tuanku itu, sebab dialah orang yang diurapi Tuhan (1Samuel 24:11) Bacaan : 1Samuel 23:28-24:16

Ada kalanya lebih baik menunggu Allah bertindak daripada berusaha membuat segala sesuatu terjadi menurut kehendak kita. Itu adalah pelajaran yang dapat kita lihat jelas saat Daud menolak membunuh Saul meski raja itu berusaha membunuhnya (1 Samuel 24). Ketika Saul seorang diri di dalam dan dalam posisi yang lemah, pengikut Daud memberitahukan bahwa itu merupakan kesempatan yang Allah berikan untuk mengambil alih kedudukan sebagai raja yang memang sudah menjadi haknya (ayat 5). Namun Daud menolak dan berkata, "Dijauhkan Tuhan-lah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi Tuhan, yakni menjamah dia" (ayat 7). Setelah Saul meninggalkan gua, Daud berseru kepadanya, "Tuhan kiranya menjadi hakim di antara aku dan engkau, Tuhan kiranya membalaskan aku kepadamu, tetapi tanganku tidak akan memukul engkau" (ayat 13). Daud tahu Allah telah memilihnya menjadi raja. Namun, ia pun tahu membunuh Saul bukanlah cara yang tepat untuk memuluskan jalannya menjadi raja. Ia menunggu Allah menyingkirkan Saul dari takhta.
Adakah suatu rintangan antara Anda dengan sesuatu yang sesungguhnya menjadi hak Anda? Anda percaya itu adalah kehendak Allah, tetapi waktu dan cara untuk mendapatkannya tampak tidak tepat. Pikirkan masak-masak dan tekunlah berdoa sebelum mengambil jalan yang buruk untuk menuju suatu tujuan yang indah.
Menunggu Allah bertindak adalah kesempatan terbaik bagi kita agar segala hal yang benar terjadi sesuai dengan jalan-Nya . WAKTU ALLAH SELALU TEPAT NANTIKANLAH DENGAN PENUH KESABARAN. Iman tidak pernah putus asa. Iman tahu bahwa selain yang terlihat, semua berjalan dengan baik. Iman dapat menunggu tanpa melihat tanda-tanda atau petunjuk yang jelas bahwa Allah sedang bekerja, sebab dengan iman kita memercayai-Nya. "Semua penangguhan itu sungguh baik, sebab kita selamat jika berada di tangan Allah," kata Madame Guyon (1648-1717).
Kita harus belajar memandang setiap penundaan sebagai hal yang "sungguh baik". Penangguhan justru dapat menjadi kesempatan untuk berdoa, bukannya menjadi cemas, tak sabar, dan jengkel. Penangguhan adalah kesempatan bagi Allah untuk membangun sifat abadi yang sulit kita peroleh, yaitu kerendahan hati, kesabaran, ketenangan, dan kekuatan. Allah tak pernah berkata, "Tunggu sebentar," kecuali Dia berencana melakukan sesuatu dengan keadaan kita -- atau di dalam kita. Dia menunggu menunjukkan kasih karunia-Nya. Jadi, bersabarlah! Jika jawaban Allah tampak lambat, "Nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang" .
Hana bahkan menanti lebih lama lagi. Selama bertahun-tahun ia belum dikaruniai seorang anak. Ia merasa sangat tidak puas dan malu (1 Samuel 1). Namun Tuhan mengingat dirinya, dan ia pun mengandung. Sukacitanya menjadi penuh. Hana menanti-nantikan dengan sabar dan ia melihat Tuhan mengubah kesedihannya menjadi sukacita yang berkelimpahan. Pujiannya (1 Samuel 2:1-10) mengingatkan bahwa kekecewaan dan kepahitan yang terdalam dapat mendatangkan kepenuhan dan kebahagiaan. Bagi setiap orang yang menanti-nantikan Tuhan, hari-hari penuh penantian akan membuahkan sukacita di kemudian hari. MENANTI-NANTIKAN ALLAH MEMBUAHKAN SUKACITA. ALLAH MENGULUR KESABARAN KITA SUPAYA KITA BERJIWA BESAR .
salah satu cara menunjukkan kasih itu adalah kesabaran terhadap orang lain. "Kasih itu sabar; kasih itu baik hati.... Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah" (1Korintus 13:4,5). Kasih mengesampingkan keinginan pribadi kita dan berusaha meneladani Kristus.
Apakah hal itu terdengar mustahil? Ya, jika kita mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun, bila kita berdoa meminta pertolongan, Allah akan memberi kita kesabaran yang mencerminkan kasih-Nya -- bahkan di tengah keadaan yang menjengkelkan

Harapan orang benar akan menjadi sukacita, tetapi harapan orang fasik menjadi sia-sia. - Amsal 10:28. Ketika seorang petani mengolah tanah, menaburkan benih, memberi pupuk, memberikan sistem pengairan yang baik, menjaga ladangnya dari hama, dan merawatnya dengan intensif, petani tersebut memiliki sebuah harapan bahwa apa yang dilakukannya akan menghasilkan hasil panenan yang besar. Tidak ada petani yang tidak mengharapkan hasil apapun atas jerih payahnya. Semuanya dilakukan untuk sebuah pengharapan. Belajar dari ilustrasi tersebut, kitapun harus memiliki pengharapan. Seperti apa pengharapan yang benar itu? Seperti apa pengharapan yang akan membuahkan sukacita?
Satu, pengharapan harus memiliki dasar. Mengapa petani mengharapkan panen? Karena petani tersebut telah menanam benih dan percaya bahwa dari benih itu bisa dihasilkan banyak hasil panen. Demikian juga setiap pengharapan kita harus mempunyai dasar, sehingga pengharapan kita bukan berdasarkan untung-untungan.
Dua, pengharapan harus disertai dengan tindakan nyata. Petani mengharapkan panen. Itu sebabnya ia mengolah tanah dan membuatnya menjadi gembur, mengairinya dengan baik, diberi pupuk, dijaga dari hama, dsb. Petani tersebut harus lebih dulu bekerja keras sebelum harapannya menjadi kenyataan. Kita pun demikian, jika tanpa mau bekerja maka semua harapan kita hanya sekedar lamunan dan angan-angan belaka.
Ketiga, pengharapan harus realistis. Memang Tuhan bisa melakukan banyak cara yang penuh keajaiban, namun hal tersebut hanya bersifat insidentil. Itu sebabnya seorang petani tak mungkin mengharapkan minggu depan sudah bisa panen sementara benihnya baru ditabur hari ini. Atau mengharapkan hasil 1 ton sementara yang ditabur hanya beberapa benih saja. Tanpa kewajaran, pengharapan hanya akan berujung pada kekecewaan. Salomo mengingatkan bahwa kita harus memiliki pengharapan dan mau menanti hasilnya dengan penuh kesabaran dan ketekunan, sebab jika tidak, kita tidak akan pernah melakukan satu pekerjaan dengan baik.
Pengharapan yang benar akan berbuah sukacita. Amen (EM).


Jamita Evangelium Minggu Advent II – 8 Desember 2024

Pauli  Hamu Dalan Di Jahowa       (Persiapkan Jalan Untuk Tuhan) Jesaya 40 :1 - 5   1)      Huria nahinaholongan dibagasan Jesus Kri...