Rabu, 28 Oktober 2009

RENUNGAN MINGGU XXI SETELAH TRINITATIS, 01 Nopember 2009

Ibadah Yang Sejati
Roma 12: 1-3
Pembenaran orang berdosa oleh iman tidak memberi orang kebebasan untuk berdosa terus. Tetapi barang siapa telah mati bersama Kristus, yaitu dalam baptisan, ia bangkit pula untuk menempuh kehidupan bersama Kristus. Kalau ada orang didalam Kristus, Roh kudus ada didalam dia, dan mengerjakan segala sesuatunyang berkenan kepada Allah. Namun kehidupan orang percaya itu bukan soal ‘asas’. Kehidupan itu harus ditempuh ditengah pergaulan masyarakat. Kehidupan seorang Kristen harus menyatakan diri dalam perkataan dan perbuatan, dalam pergaulan dengan kawan dan lawan. Perbuatan itu tidak menjadikan orang Kristen benar. Akan tetapi, orang yang karena imannya dibenarkan oleh Allah, dia mengerjakan perbuatan perbuatan yang benar, sebagaimana bukan buah yang baik yang menjadikan pohonnya baik tetapi pohon yang baik menghasilkan buah yang baik (Luther). Dalam pada itu kuasa dosa dalam diri orang Kristen sendiri kuasa dosa belum punah. Oleh sebab itu orang Kristen perlu diajak dan diajar, agar mereka tidak engendur, dan agar mereka melihat jalan yang harus ditempuh dalam keadaan yang tertentu. Ajakan dan ajaran itulah yang dikemukaan Rasul Paulus dalam nas ini:

1. Persembahkanlah tubuhmu. Yang dimaksud disini dengan mmepersembahkan tubuh kepada Allah bukan harus dibunuh, sebagaimana kadang-kadang yang terjadi dalamlingkungan agama lain. Bukan juga dengan menyiksa diri. Tetapi ‘tubuh’ itu adalah kita; kehadiran kita ditengah ralitas dunia ini, pikiran, perkataan dan perbuatan kita yang semuanya memang terjadi dan terungkap lewat beberapa bagian tubuh kita. Memang mengapa dengan tubh kita ? Untuk berbicara kita butuh mulut. Untuk mendengar kita butuh kuping. Untuk melihat kita butuh mata. Untuk berpikir kita butuh otak dan seterusnya. Maka yang dimaksud Paulus adalah seluruh perkataan dan perbuatan, seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus persembahkan kepada Tuhan. Dengan demikian bahwa mempersembahkan berarti :
a) penyerahan diri secara total. Maka demikianlah kita mempersembahkan yang bersifat sempurnah, tidak bercela.
b) Persembahan itu adalah diri kita, sebagaimana Kristus mempersembahkan diriNya bagi penebusan dosa manusia. Maka dikatakan yang hidup, bukanlah yang mati, yakni dalam hidup yang baru, hidup yang dibaharui oleh Roh Kudus (6:4; 8:11). Dan karena orang percaya hidup bagi Allah, dan telah mati bagi dosa (6:11). Jadi persembahan yang hidup, adalah penyerahan diri kita menempuh kehidupan yang baru, yang mau menjauhi dosa dan menentang kuasa dosa itu dalam hidupnya.
c) Persembahan itu dikatakan juga kudus. Dengan demikin diungkapkan bahwa ‘tubuh’ (kehidupan) kita bukan lagi milik kita sendiri. Sebab ‘mempersembahkan kurban’ berarti, kurban itu diserahkan menjadi milik Allah. Sebagaimana Allah adalah tamu kita, maka kita mempersembahkan pada tamu Agung itu persembahan yang terbaik; maka seluurh kehidupan orang percaya adalah milik Tuhan. Maka agar berkenan dihadapanNya, setiap orang percaya harus berusaha terus hidup semakin sesuai dengan kehendak Dia yang menjadi pemiliknya
Kemudian dikatakan itulah ibadahmu yang sejati. Ibadah dalam dalam bait Allah merupakan titik pusat dalam ibadah dengan arti umum; yakni ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan dan pengabdian kepadaNya.
2. Maka hidup orang percaya itu tidak boleh lagi membiarkan pola hidupnya ditentukan oleh dunia. Jangan lagi biarkan dirimu menjadi sepola dengan dunia. Sebab dunia dikuasai oleh dosa dan ketidaksempurnaan. Jadi ajakan yang mengatakan “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tidak boleh ditafsirkan seakan-akan orang percaya diajak untuk menjauhi dunia, dalam arti kenyataan jasmani. Bukan juga ajakan untuk beraskese (bertapa). Akan tetapi dengan berubah (bhs.Yunani; metamophousthai: berubah) oleh pembaharuan budimu, dalam arti biarlah rupamu diubah terus. ‘Rupa’ bukan hanya segi manusia yang lahiriah. Maka perubahan yang diharapkan dari orang-orang percaya itu bukanlah hanya perkara lahiriah saja. Yang diharapkan ialah perubahan hati, yang terwujud dalam seluruh kehidupan. Perubahan itu berlangsung oleh pembaharuan budimu. Yang dimaksud ialah: pusat kemauan kita, yang mengambil keputussan-keputusan yang menentukan tindakan kita (bnd. Ams.4:23). Pusat itu perlu dibaharui. Kita telah melihat bahwa pembaharuan hidup dikerjakan oleh Roh Kudus (7:6; 8:4). Namun disini manusia sendiri juga diajak untuk membaharui diri. Tujuannya adalah: sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah. Oleh karena kehidupan manusia dihadapkan dengan berbagai keadaan. Asering sekali sulit untuk menentukan sikap, lebih-lebih pada zaman ini dengan begitu cepatnya berkembang berbagai bidang ilmu pengetahuan, medis, tehknologi. Dalam semuanya itu diperlukan pertimbangan matang-matang sebelum kita dapat menentukan pilihan yang tepat. Sebab bila salah pilih kita bisa tergilas oleh kemajuan mutahir itu. Maka hendaknya kita harus hati-hati, manakah kehendak Allah. Kita diajak untuk mengusahakan ‘budi’ kita dalam mencari kehendak Allah. Hal ini diarahkan bagi setiap orang Kristen agar tidak malas menunggu petunjuk dari Allah. Sebab dengan melakuka kehendak Allah adalah melakukan yang baik (Gal.6:10; 1 Tess.5:15). Perbuatan yang baik itu adalah perbuatan yang sederhana dan sangat konkret: menolong orang yang berkebutuhan, mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Yang baik itu kita nyatakan dalam pergaulan antara seorang percaya dengan Allah dan orang lain, sehingga pergaulan itu menuntut pengabdian sepenuhnya. Itulah makna yang sempurnah. Sebagaimana dikatakan dalam Mrk. 12:30 , ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu,dengan segenap hatimu....kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Yang sempurnah telah mencakup yang baik dan yang berkenan, dan semuanya itu harus kita kejar.
3. 1 Korintus 7:7 ”....tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.” Maka dinasihatkan agar semua orang percaya bersikap rendah hati dengan sikap tidak melakukan spekulasi mengenai hal-hal yang begitu sulit, sehingga tak terjangkau oleh pikiran manusia, juga dengan sikap tidak memandang diri lebih tinggi dari orang lain. Sehingga layaknya setiap orang percaya memiliki kesopanan terhadap orang lain. Sehingga kita diajak agar jangan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan. Tetapi sebaliknya kita diajak berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri. Semuanaya itu kiat laksanakan dengan ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab iman setiap orang berbeda (2 Kor.10:15; 2 Tess.1:3; Ibr.4:2; 2 Ptr.1:5;). Maka dengan perkataan ‘menurut ukuran iman’ adalah: dalam berpikir, atau menilai dirinya dan orang lain, hendaknya iman menjadi tolok ukur. Sebab kalau orang Kristen mengukur pikirannya, atau menilai dirinya dan sesamanya dengan memakai dirinya sendiri sebagai kaidah, akan terjadi berbagai hal yang tidak diinginkan (bnd. 2 Kor.10:12). Akan terjadi perasaan minder, atau orang justeru akan bersikap angkuh, dan cemburu sehingga tidak ada lagi kasih.

Sebaliknya kalau iman yang menjadi tolok ukur, masing-masing orang akan memahami bahwa mereka adalah orang berdosa yang layak mengalami hukuman Allah, dan bahwa mereka diselamatkan dari hukuman itu hanya oleh rahmat Allah dalam Yesus Kristus. Kesadaran itu akan menimbulkan dalam diri kita kerendahan hati, yang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri (Flp. 2:3), dan jemaat akan menjadi ‘sehati-sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan’ (Flp.2:2). Maka Ibadah yang sejati adalah pada saat Yesus masuk dalam kehidupannya, orang itu adalah orang baru; pikirannya berbeda, karena pikiran Kristus ada di dalam dia. Apabila Kristus menjadi pusat kehidupan, barulah kita dapat mempersembahkan ibadah yang sejati di setiap detik dan setiap perbuatan kita pada Allah. Amin (EM)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jamita Evangelium Minggu Advent II – 8 Desember 2024

Pauli  Hamu Dalan Di Jahowa       (Persiapkan Jalan Untuk Tuhan) Jesaya 40 :1 - 5   1)      Huria nahinaholongan dibagasan Jesus Kri...