Teladan Kristus
Yohanes 13: 12 - 17
Yohanes 13: 12 - 17
1. Pendahuluan
Perikop tersebut menceritakan bahwa kalau Yesus telah memberikan suatu tindakan teladan kepada para murid, mereka juga diharapkan melakukan hal yang sama seperti yang telah Ia perbuat kepada mereka (Yoh 13:15). Apakah maksud pembasuhan kaki yang diteladani Yesus?
Kehidupan bangsa Israel di jaman itu menjelaskan berbagai pengertian tentang ”hamba”. Sejak mereka hidup di tanah Mesir di jaman Yusuf dibuang saudara-saudaranya (Kej 41), bangsa Israel hidup sebagai budak, yang hidup menumpang dan dianggap warganegara kelas dua di Mesir. Mereka menerima pekerjaan apapun asal bisa dapat makanan, tidak ada pilihan lain kalau mau selamat dan bisa hidup di Mesir. Oleh karenanya mereka mau diperjualbelikan sebagai budak untuk mengurus harta kekayaan orang Mesir. Menjadi gembala adalah pekerjaan paling hina, karenanya tidak ada orang Mesir yang mau jadi gembala. Demikian juga menjadi kuli bangunan pun di lakukan bangsa Yahudi seperti kejadian Musa waktu kecil tinggal di istana Firaun.
Kisah Yusuf di rumah Potifar menunjukkan dengan jelas adanya berbagai kelas ”hamba”. Kisah Potifar adalah gambaran kehidupan orang Mesir yang sangat kaya, memiliki banyak pekerja untuk mengurus kekayaannya. Seluruh hamba pelayan ini tinggal bersama tuannya tapi dengan tugas dan fasilitas yang berbeda-beda.
1. Kelas terendah adalah hamba yang mengurus kekayaan dan harta benda seperti binatang peliharaan: kuda, unta, keledai serta kambing domba. Dari jauh mereka sudah harus siap-siap menyambut tuannya dan mengurus ”kendaraan” tersebut. Hamba seperti ini tidak boleh sembarangan berbicara dengan tuannya. Bahkan tidak boleh masuk ke dalam rumah. Urusannya hanya binatang peliharaan. Kalau sampai ada hewan peliharaan yang luka dan sakit, pasti para hamba inilah yang akan dihukum. Mungkin juga tinggalnya tidak jauh dari para binatang, sama seperti perumpamaan si anak bungsu yang memilih menjadi gembala babi agar mendapatkan makanan. Kelas yang sama juga berlaku bagi para pekerja di kebun anggur dan penabur benih di ladang gandum.
2. Kelas spesialis yang lebih tinggi dan lebih bergengsi, yaitu juru minuman dan juru makanan yang menyiapkan hidangan tuannya. Mereka tentu dibeli dengan harga lebih tinggi, karena memiliki keahlian tertentu serta mendapat fasilitas lebih baik termasuk ”seragam” yang layak karena keluar masuk dapur dan ruangan makan. Mereka punya kesempatan untuk disapa tuannya saat bersantap, tapi mereka juga punya resiko tinggi. Setiap makanan dan minuman harus mereka cicipi terlebih dulu. Kalau makanan atau minuman tersebut beracun, mereka lah yang akan jadi korbannya. Kelas ini juga termasuk para pengawas kebun anggur yang bekerja di ladang.
3. Kelas eksklusif adalah kepala rumah tangga seperti Yusuf, dia lah yang mengatur tugas para hamba pelayan dari berbagai tingkatan, baik yang di ladang sampai yang didalam rumah termasuk mengatur menu sampai belanja Rumah Tangga. Ia memiliki otoritas tertinggi, dipercaya tuannya tapi juga tentunya punya fasilitas lebih mewah dari hamba-hamba yang lain; termasuk boleh keluar masuk kamar tidur tuannya.
Walaupun demikian sedikit kesalahan saja dari para hamba tadi, cukup membuat sang tuan menghukum mereka tanpa melewati proses Pengadilan Umum. Bahkan ada petugas security khusus untuk mengurus hamba-hamba yang ’mbalelo’ untuk dibawa masuk penjara pribadi; seperti yang dialami Yusuf yang dipenjara bertahun-tahun. Sang Tuanlah yang menentukan nasib hidup matinya para hamba ini karena ia sudah membeli mereka sesuai harga ”pasar”.
Tapi ada satu jenis hamba yang sering disebut didalam berbagai perumpamaan sebagai ”hamba tak berguna”. Hamba tak berguna adalah hamba yang dimiliki sang tuan tapi tidak bisa bekerja seperti yang diharapkan bahkan untuk pekerjaan paling mudah sekalipun. Yang masuk kelas ini adalah mereka yang cacat, buta, pincang, sudah tua dan penyakitan. Mengapa ada kelas ’hamba tak berguna’ ini? Hal ini bisa terjadi mereka mengalami cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit; sehingga hamba-hamba ini tidak laku lagi untuk diperjualbelikan. Bahkan kalau ada di pasar budak, si bandar tidak mau menahannya lama-lama. Bisa berat di ongkos karena harus memberi tempat tinggal dan makan. Supaya ’stok’ cepat habis dan bisa ganti ’barang’ yang baru lagi, mungkin mereka sudah praktekkan strategi ”SALE” seperti di supermarket. By three get one free, beli tiga orang dapat bonus satu orang. Ya satu orang ini yang tidak layak dipekerjakan, tidak perlu dibayar. BUDAK BONUS.
Lalu apa pekerjaan mereka? Kalau urus binatang dan kebun sudah pasti mereka tidak mampu. Maka mereka tugasnya hanya disuruh menunggu tuannya di jalanan, membuka pintu dan buru-buru melepaskan sandal tuannya dan membasuh kaki tuannya. Demikian pula bilamana ada perjamuan makan, para hamba ini melayani pencucian kaki para tamu-tamu sebelum masuk rumah sebelum bersantap makan. Jangan berani-berani para hamba ini mengajak berbicara tuan atau tamunya. Menatap mata tuannya sudah cukup membuat mereka masuk penjara, dianggap menantang. Tidak tahu terima kasih, sudah diselamatkan dari pasar budak. Tindakan membasuh kaki yang dilakukan Maria untuk membasuh kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal. Ini menunjukkan betapa dia bersyukur karena Yesus yang telah membangkitkan kakaknya Lazarus dari mati.
Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku (Joh 13:8)
Sehingga kalau Yesus mengambil teladan dengan mulai membasuh kaki murud-muridNya dan meminta mereka saling membasuh kaki, hal ini dimaksudkan juga bahwa mereka perlu mengambil posisi sebagai hamba yang paling rendah tingkatannya, hamba yang tidak berguna. Bukan hamba yang punya otoritas mengatur hamba-hamba lain seperti Yusuf. Ia tidak mencari posisi untuk naik tingkat, tidak mengharapkan promosi, tapi siap melayani bahkan diperlakukan bagaimanapun oleh Tuannya dan juga tamu-tamunya, tanpa sepatah kata. Penuh rasa syukur karena telah ditebus LUNAS.
Pembasuhan kaki biasa dilakukan sebelum masuk rumah, sebelum perjamuan makan. Dapat juga dianggap sebagai syarat kelayakan sebelum menikmati jamuan makan. Ini adalah bagian tradisi orang Yahudi. Sebagai syarat kelayakan bahwa untuk menikmati perjamuan bersama Tuhan kita juga siap mengambil bagian untuk saling membasuh kaki, mau merendahkan diri dan saling melayani.
Dengan mengambil bagian dalam tiap pelayanan dalam Gereja dan dalam bidang sosial kemasyrakatan, kita semakin mengerti sikap ”melayani” yang diteladani Yesus. Sayangnya memang tidak semua murid Tuhan bisa bertahan dengan sikap tersebut. Betapa banyak para petugas liturgi, koor, pengurus lingkungan yang mundur dan memilih jadi umat yang ”baik”. Duduk manis tidak melakukan apa-apa dan menikmati ”pelayanan” para petugas lainnya. Kalau ditanya, rata-rata menjawab ” capek hati, korban perasaan, tidak dihargai, disalahkan terus….dan litani ini anda bisa teruskan sendiri.
Memang itulah yang dimaksudkan, apakah kita siap diperlakukan seperti hamba tak berguna? Sabda Tuhan selanjutnya: Aku tahu, siapa yang telah Kupilih (Yoh 13:18) Tuhan tidak pernah salah pilih, tapi mungkin kita salah menempatkan diri kita sebagai hamba yang menuntut dihargai dan dihormati; Kita lupa bahwa kita adalah hamba tidak berguna, lupa dan tidak bersyukur bahwa kita sudah ditebus dan dibayar LUNAS. Teruslah ambil bagian dalam setiap pelayanan pekerjaan TUhan, dan semoga Tuan kita suatu saat nanti berkata ”Inilah hambaKu yang setia, silahkan masuk dan bersantap bersamaKu”
Dalam perikop ini kita melihat bagaimana Yesus mau mengajarkan kepada murid-muridNya sikap seorang hamba yang merendahkan diriNya hingga sampai mati di kayu salib. Sebelum pembasuhan kaki Yesus bersama-sama dengan murid-muridNya makan bersama, yang sebelumnya perayaan Hari Raya Paskah di hari ke 14 dan pada hari ke 15 mereka semua makan bersama. Yesus sudah tahu bahwa ajalNya sudah dekat sehingga sehubungan dengan itu Ia menetapkan Perjamuan Malam.
Pada jamuan malam itu memang suasana sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan dikalangan murid-murid Yesus. Ketika mereka masuk pintu ruangan pada Jamuan Malam itu ternyata sudah tersedia semuanya termasuk sehelai kain dan air untuk membasuh kaki orang-orang yang akan masuk. Tetapi tidak ada pelayan untuk mengerjakan pekerjaan rendah itu. Sebenarnya salah seorang dari murid-murid itu harus menjadi pelayan yang membasuh kaki Yesus serta murid-murid yang lain. Tetapi ternyata tidak ada yang mau. Tidak ada yang mau menjadi hamba. Sebab itu mereka berpandang-pandangan dan saling menyalahkan.
Tiba-tiba Yesus bangkit. Ia tahu bahwa tak lama lagi Ia akan dijadikan korban. Lalu ia melangkah kepintu kamar itu. Baju jubahNya ditanggalkan, diambilNya sehelai kain dan diikatNya pad pinggangNya. Yesus mau menjadi hamba segala hamba. Ia mulai berlutut dan mulai melakukan pekerjaan rendah itu. Justeru karena insaf bahwa segala sesuatu terletak dalam tanganNya, Ia tidak merebut dan memegang tongkat Kerajaan, tetapi bokor pembasuhan. Yesus ingin mencurahkan jiwanya ampai mati, kini Ia mencurahkan air dalam bokor. PekerjaanNya ke duni ini ialah untuk membersihkan dan menyucikan. Kini bokor berisi air itu diangkutNya dan dimintaNya murid-murid itu menjulurkan kaki masing-masing supaya Yesus membersihkannya.
II. Penjelasan
a. Tetapi bukan itu saja yang kita petik dari pembasuhan kaki itu. Bukan saja dilukiskannya kerelaan Yesus merendahkan dirinya sendiri, dan bukan saja suatu lambang dari pembersihan dosa sehari-hari, tetapi dimaksud pula untuk menjadi contoh yang patut ditiru. Setelah Yesus selesai membasuh dan sudah duduk ditempatNya, ditengah-tengah kesepian dalam ruangan itu, Ia mulai berbicara, lalu tanyaNya kepada murid-muridNya: “Mengertikah kamu yang Aku perbuat kepadamu”? Yesus tidak menunggu sampai murid-murid itu menjawab.
b. Kalau Guru dan Tuhan itu ternyata sudi membasuh kaki murid-muridNya, demikianlah sepatutnya para murid-murid saling mencuci kaki temanya. Raja dari Kerajaan Surga itu ternyata mau menjadi hamba dari segala hamba. Justeru dengan melayani, Ia akan menjadi besar. Dengan merendahkan diri, namaNya akan dimuliakan diatas segala nama. Kuasanya terbukti dari kerendahan hatiNya. Bahagia yang ada padaNya bukannya ternyata dalam sikap mengambil, menuntut dan meraih, tetapi dalam kerelaan memberi dan mengorbankan diri. Hukum ini, yakni beroleh Kebesaran dengan jalan melayani, dibuat oleh Yesus menjadi suatu hukum Kerajaannya. Yang sungguh besar dan mulia dalam Kerajaan Sorga ialah mereka yang paling banyak melayani dan rela menjadi orang yang paling rendah dan hina. Saling membasuh kaki, itulah yang diminta Kristus dari kita dan itu berarti saling mengampuni dosa. Saling melayani, mau menjadi orang yang paling rendah. Mau menolong orang yang paling hina. Mau mengasihi yang paling sengsara. Mau duduk ditempat yang paling rendah, sebagaimana Yesus perbuat, harus kita perbuat pula (ay.15).
c. Sebab seorang hamba tidaklah lebih besar daripada tuannya, dan seorang pesuruhpun tidaklah lebih besar dari pada tuannya, dan seorang pesuruhpun tidaklah lebih besar daripada yang menyuruh dia. Untuk dapat meniru apa yang telah dilakukan Yesus adalah bila kita benar-benar mengenal Yesus sebagai hamba. Kalau kita mau dilayani oleh Yesus , kitapun harus mau melayani orang lain disekitar kita. Tetapi hal itu harus nyata dalam perbuatan. Oleh sebab Kristus tidak puas dengan hanya perasaan saja. Ia tidak menyukai suatu kesalehan yang dapat mengemukakan teori yang muluk-muluk, tetapi tidak membuktikannya dengan pelayanan atau “pembasuhan kaki” sesama manusia. Yesus menuntut supaya kita mencontoh perbuatanNya. Jadi perbuatan melayanilah ukuran kasih yang benar.
III. Aplikasi
Orang yang telah menerima Kristus dalam hidupnya akan menerima tugas panggilan untuk berkorban seperti pengorbanan Kristus. Orang percaya dipanggil menjadi pelaku-pelaku firman bukan hanya sebagai pendengar-pendengar firman saja. Selain itu mau memberikan hidupnya untuk melayani dengan sikap sebagai seorang hamba. Oleh sebab itu orang percaya perlu memperhatikan beberapa hal yang dilakukan dalam hidupnya sehubungan dengan nas ini, yaitu:
1) Memahami Pengorbanan Kristus. Yang mau berkorban adalah yang mau memberikan nyawanya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya. Siapkah saudara berkorban demi keluarga saudara dan saudara-saudara anda, dan bagi orang lain juga ? Berkorban dalam arti dia mau memberikan pertolongannya dengan rasa yang manis yakni dengan rasa kasih Kristus. Pada zaman sekarang siapa yang rela berkorban ? sangatlah sulit mencari figur yang mau berkorban seperti Kristus. Mungkin saudara pernah menonton reality show di televisi.
2) Melaksanakan Tugas dengan sepenuh hati. Ada sebahagian orang yang suah lama melayani namunmereka melayani karena sudah dipilih, bukan karena keterpanggilan yang digerakkan oleh dasar kasih Kristus. Kemudian ada juga yang melayani oleh karena kewajiban, dan bukan karena dasar pengorbanan kasih Kristus. Sehingga mereka yang melayani dengan jadwal dan tugas yang ditentukan biasanya hanya menjadikannya kewajiban saja tidak merasakan itu menjadi panggilan pelayanannya. Sehingga mereka melayani hanya dengan sepenuh kaki, hanya sepenuh tangan, hanya sepenuh kepala tidak sepenuh hati tentu akan membuat sulit melaksanakan tugas-tugas pelayanan.
3) Melayani dengan rendah hati. Spiritualitas merendahkan diri tidaklah mudah, sebab membutuhkan proses pembaharuan atau transformasi hidup yang sangat berat. Dalam diri kita senantiasa memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menonjolkan diri walaupun sebenarnya tidak ada yang layak untuk ditonjolkan. Kalau kita kaya raya, maka kita cenderung menonjolkan harta milik yang kita punya. Kalau kita pandai, maka kita cenderung untuk menunjukkan kehebatan “intelektualitas” dan daya kritis kita. Kalau kita berkedudukan tinggi dan berpengaruh, maka kita cenderung untuk menunjukkan seberapa besar kuasa kita untuk mengatur segala sesuatu. Sehingga tanpa persetujuan dari kita, maka segala sesuatu pasti akan menjadi tidak beres dan cacat. Tetapi bagaimana seandainya kita tidak kaya, tidak pandai dan tidak berpengaruh; apakah kita akan bersikap rendah hati? Belum tentu! Kita juga akan dapat menunjukkan “kehebatan” diri dengan cara lain, misalnya: kita menunjukkan kepada orang lain kalau kita punya fisik dan otot yang kuat, kita dapat menunjukkan sikap yang “mengasihani diri”, kita menunjukkan sikap yang “rendah-diri” (minder), atau kita mungkin memiliki banyak siasat untuk mencari kesalahan dan kelemahan orang lain serta kelihaian untuk menyebarkan fitnah kepada orang-orang yang tidak kita sukai. Semua sikap tersebut pada prinsipnya merupakan respon kita terhadap sesuatu hal yang kita anggap kurang baik dan tidak menyenangkan hati, sehingga kita terdorong untuk memperlihatkan “kuasa” yang kita miliki untuk mencapai suatu tujuan dan keinginan hati kita.
4) Membasuh hati dan pikiran; Dengan pembasuhan hati dan pikiran oleh kuasa Kristus sebagaimana kita dibasuh dan disucikan melalui darah Kristus. Banyak debu dosa yang beterbangan disekitar kita yang sewaktu-waktu melekat dalam hidup kita, sehingga kita berdosa setiap waktu. Oleh sebab itu kita harus mau membasuh atau menyusikan diri kita dengan menerima kuasa pengampunan Kristus. Dan kita harus ingat pembasuhan dan pembersihan diri yang lebih kita kenal hidup dalam kekudusan tidak dapat kita terima tanpa mengandalkan kuasa Kristus.
5) Tangan yang ringan menolong. Hal pembasuhan yang dilakukan Yesus adalah jiwa seorang pelayan yang dengan ringan tangan mau menolng dan melakukan pekerjaan yang dianggap hina oleh dunia ini, namun sangat berarti bila kita mau menyingsingkan lengan kita dan siap sedia untuk memberikan pertolongan. Yesus rela memberi pelayanan dengan setulus hati. Apakah kita juga rela melakukan yang dipandang dunia hina bagi kebaikan dan menolong orang lain ? (Flp.2:5)
6) Teladan Kristus. Apa yang diberikan dan diperlihatkan Yesus adalah sebuah teladan yang baik yang perlu dan harus ditiru serta dilakukan oleh setiap orang yang percaya kepadaNya. Teladanapakah yang dapat kita contohkan dan kita berikan bagi orang-orang di sekitar kita ? Tuhan Yesus tidak hanya memakai kata-kata untuk mengajar murid-murid-Nya, tetapi Ia mengajar murid-murid-Nya melalui seluruh kehidupan-Nya. Murid-murid-Nya bukan hanya bertemu Tuhan Yesus saat Tuhan Yesus mengajar, melainkan mereka terus-menerus bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Mereka melihat saat Tuhan Yesus melayani masyarakat umum dan mereka juga melihat Tuhan Yesus dalam kehidupan sehari-hari. Para murid Tuhan Yesus bukan hanya belajar dari apa yang dikatakan Tuhan Yesus, tetapi mereka juga belajar dari apa yang dilakukan Tuhan Yesus dan dari gaya hidup yang dijalani Tuhan Yesus. Tuhan Yesus mengajar di sinagoge (tempat ibadah orang Yahudi), tetapi ia juga mengajar di alam terbuka. Dalam bacaan hari ini, Tuhan Yesus mengajar murid-murid untuk melayani orang lain dengan mempraktikkan sendiri cara melayani dengan mencuci kaki murid-murid-Nya.
Sebagai majelis gereja, pengurus komisi, orang tua Kristen, guru sekolah Kristen, guru sekolah minggu, atau berbagai posisi kepemimpinan yang lain, apakah Anda telah menjadi teladan? Apakah cara Anda bersikap dan bertindak layak untuk ditiru oleh orang-orang di sekitar Anda? Apakah Anda menguatkan kata-kata Anda dengan perbuatan Anda? Apakah Anda bukan hanya memberi instruksi, melainkan juga memberi teladan dalam kerendahhatian dan dalam sikap melayani? Apakah Anda bisa memandang kepentingan orang-orang di sekitar Anda sebagai lebih penting daripada kepentingan Anda sendiri?
Perikop tersebut menceritakan bahwa kalau Yesus telah memberikan suatu tindakan teladan kepada para murid, mereka juga diharapkan melakukan hal yang sama seperti yang telah Ia perbuat kepada mereka (Yoh 13:15). Apakah maksud pembasuhan kaki yang diteladani Yesus?
Kehidupan bangsa Israel di jaman itu menjelaskan berbagai pengertian tentang ”hamba”. Sejak mereka hidup di tanah Mesir di jaman Yusuf dibuang saudara-saudaranya (Kej 41), bangsa Israel hidup sebagai budak, yang hidup menumpang dan dianggap warganegara kelas dua di Mesir. Mereka menerima pekerjaan apapun asal bisa dapat makanan, tidak ada pilihan lain kalau mau selamat dan bisa hidup di Mesir. Oleh karenanya mereka mau diperjualbelikan sebagai budak untuk mengurus harta kekayaan orang Mesir. Menjadi gembala adalah pekerjaan paling hina, karenanya tidak ada orang Mesir yang mau jadi gembala. Demikian juga menjadi kuli bangunan pun di lakukan bangsa Yahudi seperti kejadian Musa waktu kecil tinggal di istana Firaun.
Kisah Yusuf di rumah Potifar menunjukkan dengan jelas adanya berbagai kelas ”hamba”. Kisah Potifar adalah gambaran kehidupan orang Mesir yang sangat kaya, memiliki banyak pekerja untuk mengurus kekayaannya. Seluruh hamba pelayan ini tinggal bersama tuannya tapi dengan tugas dan fasilitas yang berbeda-beda.
1. Kelas terendah adalah hamba yang mengurus kekayaan dan harta benda seperti binatang peliharaan: kuda, unta, keledai serta kambing domba. Dari jauh mereka sudah harus siap-siap menyambut tuannya dan mengurus ”kendaraan” tersebut. Hamba seperti ini tidak boleh sembarangan berbicara dengan tuannya. Bahkan tidak boleh masuk ke dalam rumah. Urusannya hanya binatang peliharaan. Kalau sampai ada hewan peliharaan yang luka dan sakit, pasti para hamba inilah yang akan dihukum. Mungkin juga tinggalnya tidak jauh dari para binatang, sama seperti perumpamaan si anak bungsu yang memilih menjadi gembala babi agar mendapatkan makanan. Kelas yang sama juga berlaku bagi para pekerja di kebun anggur dan penabur benih di ladang gandum.
2. Kelas spesialis yang lebih tinggi dan lebih bergengsi, yaitu juru minuman dan juru makanan yang menyiapkan hidangan tuannya. Mereka tentu dibeli dengan harga lebih tinggi, karena memiliki keahlian tertentu serta mendapat fasilitas lebih baik termasuk ”seragam” yang layak karena keluar masuk dapur dan ruangan makan. Mereka punya kesempatan untuk disapa tuannya saat bersantap, tapi mereka juga punya resiko tinggi. Setiap makanan dan minuman harus mereka cicipi terlebih dulu. Kalau makanan atau minuman tersebut beracun, mereka lah yang akan jadi korbannya. Kelas ini juga termasuk para pengawas kebun anggur yang bekerja di ladang.
3. Kelas eksklusif adalah kepala rumah tangga seperti Yusuf, dia lah yang mengatur tugas para hamba pelayan dari berbagai tingkatan, baik yang di ladang sampai yang didalam rumah termasuk mengatur menu sampai belanja Rumah Tangga. Ia memiliki otoritas tertinggi, dipercaya tuannya tapi juga tentunya punya fasilitas lebih mewah dari hamba-hamba yang lain; termasuk boleh keluar masuk kamar tidur tuannya.
Walaupun demikian sedikit kesalahan saja dari para hamba tadi, cukup membuat sang tuan menghukum mereka tanpa melewati proses Pengadilan Umum. Bahkan ada petugas security khusus untuk mengurus hamba-hamba yang ’mbalelo’ untuk dibawa masuk penjara pribadi; seperti yang dialami Yusuf yang dipenjara bertahun-tahun. Sang Tuanlah yang menentukan nasib hidup matinya para hamba ini karena ia sudah membeli mereka sesuai harga ”pasar”.
Tapi ada satu jenis hamba yang sering disebut didalam berbagai perumpamaan sebagai ”hamba tak berguna”. Hamba tak berguna adalah hamba yang dimiliki sang tuan tapi tidak bisa bekerja seperti yang diharapkan bahkan untuk pekerjaan paling mudah sekalipun. Yang masuk kelas ini adalah mereka yang cacat, buta, pincang, sudah tua dan penyakitan. Mengapa ada kelas ’hamba tak berguna’ ini? Hal ini bisa terjadi mereka mengalami cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit; sehingga hamba-hamba ini tidak laku lagi untuk diperjualbelikan. Bahkan kalau ada di pasar budak, si bandar tidak mau menahannya lama-lama. Bisa berat di ongkos karena harus memberi tempat tinggal dan makan. Supaya ’stok’ cepat habis dan bisa ganti ’barang’ yang baru lagi, mungkin mereka sudah praktekkan strategi ”SALE” seperti di supermarket. By three get one free, beli tiga orang dapat bonus satu orang. Ya satu orang ini yang tidak layak dipekerjakan, tidak perlu dibayar. BUDAK BONUS.
Lalu apa pekerjaan mereka? Kalau urus binatang dan kebun sudah pasti mereka tidak mampu. Maka mereka tugasnya hanya disuruh menunggu tuannya di jalanan, membuka pintu dan buru-buru melepaskan sandal tuannya dan membasuh kaki tuannya. Demikian pula bilamana ada perjamuan makan, para hamba ini melayani pencucian kaki para tamu-tamu sebelum masuk rumah sebelum bersantap makan. Jangan berani-berani para hamba ini mengajak berbicara tuan atau tamunya. Menatap mata tuannya sudah cukup membuat mereka masuk penjara, dianggap menantang. Tidak tahu terima kasih, sudah diselamatkan dari pasar budak. Tindakan membasuh kaki yang dilakukan Maria untuk membasuh kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal. Ini menunjukkan betapa dia bersyukur karena Yesus yang telah membangkitkan kakaknya Lazarus dari mati.
Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku (Joh 13:8)
Sehingga kalau Yesus mengambil teladan dengan mulai membasuh kaki murud-muridNya dan meminta mereka saling membasuh kaki, hal ini dimaksudkan juga bahwa mereka perlu mengambil posisi sebagai hamba yang paling rendah tingkatannya, hamba yang tidak berguna. Bukan hamba yang punya otoritas mengatur hamba-hamba lain seperti Yusuf. Ia tidak mencari posisi untuk naik tingkat, tidak mengharapkan promosi, tapi siap melayani bahkan diperlakukan bagaimanapun oleh Tuannya dan juga tamu-tamunya, tanpa sepatah kata. Penuh rasa syukur karena telah ditebus LUNAS.
Pembasuhan kaki biasa dilakukan sebelum masuk rumah, sebelum perjamuan makan. Dapat juga dianggap sebagai syarat kelayakan sebelum menikmati jamuan makan. Ini adalah bagian tradisi orang Yahudi. Sebagai syarat kelayakan bahwa untuk menikmati perjamuan bersama Tuhan kita juga siap mengambil bagian untuk saling membasuh kaki, mau merendahkan diri dan saling melayani.
Dengan mengambil bagian dalam tiap pelayanan dalam Gereja dan dalam bidang sosial kemasyrakatan, kita semakin mengerti sikap ”melayani” yang diteladani Yesus. Sayangnya memang tidak semua murid Tuhan bisa bertahan dengan sikap tersebut. Betapa banyak para petugas liturgi, koor, pengurus lingkungan yang mundur dan memilih jadi umat yang ”baik”. Duduk manis tidak melakukan apa-apa dan menikmati ”pelayanan” para petugas lainnya. Kalau ditanya, rata-rata menjawab ” capek hati, korban perasaan, tidak dihargai, disalahkan terus….dan litani ini anda bisa teruskan sendiri.
Memang itulah yang dimaksudkan, apakah kita siap diperlakukan seperti hamba tak berguna? Sabda Tuhan selanjutnya: Aku tahu, siapa yang telah Kupilih (Yoh 13:18) Tuhan tidak pernah salah pilih, tapi mungkin kita salah menempatkan diri kita sebagai hamba yang menuntut dihargai dan dihormati; Kita lupa bahwa kita adalah hamba tidak berguna, lupa dan tidak bersyukur bahwa kita sudah ditebus dan dibayar LUNAS. Teruslah ambil bagian dalam setiap pelayanan pekerjaan TUhan, dan semoga Tuan kita suatu saat nanti berkata ”Inilah hambaKu yang setia, silahkan masuk dan bersantap bersamaKu”
Dalam perikop ini kita melihat bagaimana Yesus mau mengajarkan kepada murid-muridNya sikap seorang hamba yang merendahkan diriNya hingga sampai mati di kayu salib. Sebelum pembasuhan kaki Yesus bersama-sama dengan murid-muridNya makan bersama, yang sebelumnya perayaan Hari Raya Paskah di hari ke 14 dan pada hari ke 15 mereka semua makan bersama. Yesus sudah tahu bahwa ajalNya sudah dekat sehingga sehubungan dengan itu Ia menetapkan Perjamuan Malam.
Pada jamuan malam itu memang suasana sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan dikalangan murid-murid Yesus. Ketika mereka masuk pintu ruangan pada Jamuan Malam itu ternyata sudah tersedia semuanya termasuk sehelai kain dan air untuk membasuh kaki orang-orang yang akan masuk. Tetapi tidak ada pelayan untuk mengerjakan pekerjaan rendah itu. Sebenarnya salah seorang dari murid-murid itu harus menjadi pelayan yang membasuh kaki Yesus serta murid-murid yang lain. Tetapi ternyata tidak ada yang mau. Tidak ada yang mau menjadi hamba. Sebab itu mereka berpandang-pandangan dan saling menyalahkan.
Tiba-tiba Yesus bangkit. Ia tahu bahwa tak lama lagi Ia akan dijadikan korban. Lalu ia melangkah kepintu kamar itu. Baju jubahNya ditanggalkan, diambilNya sehelai kain dan diikatNya pad pinggangNya. Yesus mau menjadi hamba segala hamba. Ia mulai berlutut dan mulai melakukan pekerjaan rendah itu. Justeru karena insaf bahwa segala sesuatu terletak dalam tanganNya, Ia tidak merebut dan memegang tongkat Kerajaan, tetapi bokor pembasuhan. Yesus ingin mencurahkan jiwanya ampai mati, kini Ia mencurahkan air dalam bokor. PekerjaanNya ke duni ini ialah untuk membersihkan dan menyucikan. Kini bokor berisi air itu diangkutNya dan dimintaNya murid-murid itu menjulurkan kaki masing-masing supaya Yesus membersihkannya.
II. Penjelasan
a. Tetapi bukan itu saja yang kita petik dari pembasuhan kaki itu. Bukan saja dilukiskannya kerelaan Yesus merendahkan dirinya sendiri, dan bukan saja suatu lambang dari pembersihan dosa sehari-hari, tetapi dimaksud pula untuk menjadi contoh yang patut ditiru. Setelah Yesus selesai membasuh dan sudah duduk ditempatNya, ditengah-tengah kesepian dalam ruangan itu, Ia mulai berbicara, lalu tanyaNya kepada murid-muridNya: “Mengertikah kamu yang Aku perbuat kepadamu”? Yesus tidak menunggu sampai murid-murid itu menjawab.
b. Kalau Guru dan Tuhan itu ternyata sudi membasuh kaki murid-muridNya, demikianlah sepatutnya para murid-murid saling mencuci kaki temanya. Raja dari Kerajaan Surga itu ternyata mau menjadi hamba dari segala hamba. Justeru dengan melayani, Ia akan menjadi besar. Dengan merendahkan diri, namaNya akan dimuliakan diatas segala nama. Kuasanya terbukti dari kerendahan hatiNya. Bahagia yang ada padaNya bukannya ternyata dalam sikap mengambil, menuntut dan meraih, tetapi dalam kerelaan memberi dan mengorbankan diri. Hukum ini, yakni beroleh Kebesaran dengan jalan melayani, dibuat oleh Yesus menjadi suatu hukum Kerajaannya. Yang sungguh besar dan mulia dalam Kerajaan Sorga ialah mereka yang paling banyak melayani dan rela menjadi orang yang paling rendah dan hina. Saling membasuh kaki, itulah yang diminta Kristus dari kita dan itu berarti saling mengampuni dosa. Saling melayani, mau menjadi orang yang paling rendah. Mau menolong orang yang paling hina. Mau mengasihi yang paling sengsara. Mau duduk ditempat yang paling rendah, sebagaimana Yesus perbuat, harus kita perbuat pula (ay.15).
c. Sebab seorang hamba tidaklah lebih besar daripada tuannya, dan seorang pesuruhpun tidaklah lebih besar dari pada tuannya, dan seorang pesuruhpun tidaklah lebih besar daripada yang menyuruh dia. Untuk dapat meniru apa yang telah dilakukan Yesus adalah bila kita benar-benar mengenal Yesus sebagai hamba. Kalau kita mau dilayani oleh Yesus , kitapun harus mau melayani orang lain disekitar kita. Tetapi hal itu harus nyata dalam perbuatan. Oleh sebab Kristus tidak puas dengan hanya perasaan saja. Ia tidak menyukai suatu kesalehan yang dapat mengemukakan teori yang muluk-muluk, tetapi tidak membuktikannya dengan pelayanan atau “pembasuhan kaki” sesama manusia. Yesus menuntut supaya kita mencontoh perbuatanNya. Jadi perbuatan melayanilah ukuran kasih yang benar.
III. Aplikasi
Orang yang telah menerima Kristus dalam hidupnya akan menerima tugas panggilan untuk berkorban seperti pengorbanan Kristus. Orang percaya dipanggil menjadi pelaku-pelaku firman bukan hanya sebagai pendengar-pendengar firman saja. Selain itu mau memberikan hidupnya untuk melayani dengan sikap sebagai seorang hamba. Oleh sebab itu orang percaya perlu memperhatikan beberapa hal yang dilakukan dalam hidupnya sehubungan dengan nas ini, yaitu:
1) Memahami Pengorbanan Kristus. Yang mau berkorban adalah yang mau memberikan nyawanya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya. Siapkah saudara berkorban demi keluarga saudara dan saudara-saudara anda, dan bagi orang lain juga ? Berkorban dalam arti dia mau memberikan pertolongannya dengan rasa yang manis yakni dengan rasa kasih Kristus. Pada zaman sekarang siapa yang rela berkorban ? sangatlah sulit mencari figur yang mau berkorban seperti Kristus. Mungkin saudara pernah menonton reality show di televisi.
2) Melaksanakan Tugas dengan sepenuh hati. Ada sebahagian orang yang suah lama melayani namunmereka melayani karena sudah dipilih, bukan karena keterpanggilan yang digerakkan oleh dasar kasih Kristus. Kemudian ada juga yang melayani oleh karena kewajiban, dan bukan karena dasar pengorbanan kasih Kristus. Sehingga mereka yang melayani dengan jadwal dan tugas yang ditentukan biasanya hanya menjadikannya kewajiban saja tidak merasakan itu menjadi panggilan pelayanannya. Sehingga mereka melayani hanya dengan sepenuh kaki, hanya sepenuh tangan, hanya sepenuh kepala tidak sepenuh hati tentu akan membuat sulit melaksanakan tugas-tugas pelayanan.
3) Melayani dengan rendah hati. Spiritualitas merendahkan diri tidaklah mudah, sebab membutuhkan proses pembaharuan atau transformasi hidup yang sangat berat. Dalam diri kita senantiasa memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menonjolkan diri walaupun sebenarnya tidak ada yang layak untuk ditonjolkan. Kalau kita kaya raya, maka kita cenderung menonjolkan harta milik yang kita punya. Kalau kita pandai, maka kita cenderung untuk menunjukkan kehebatan “intelektualitas” dan daya kritis kita. Kalau kita berkedudukan tinggi dan berpengaruh, maka kita cenderung untuk menunjukkan seberapa besar kuasa kita untuk mengatur segala sesuatu. Sehingga tanpa persetujuan dari kita, maka segala sesuatu pasti akan menjadi tidak beres dan cacat. Tetapi bagaimana seandainya kita tidak kaya, tidak pandai dan tidak berpengaruh; apakah kita akan bersikap rendah hati? Belum tentu! Kita juga akan dapat menunjukkan “kehebatan” diri dengan cara lain, misalnya: kita menunjukkan kepada orang lain kalau kita punya fisik dan otot yang kuat, kita dapat menunjukkan sikap yang “mengasihani diri”, kita menunjukkan sikap yang “rendah-diri” (minder), atau kita mungkin memiliki banyak siasat untuk mencari kesalahan dan kelemahan orang lain serta kelihaian untuk menyebarkan fitnah kepada orang-orang yang tidak kita sukai. Semua sikap tersebut pada prinsipnya merupakan respon kita terhadap sesuatu hal yang kita anggap kurang baik dan tidak menyenangkan hati, sehingga kita terdorong untuk memperlihatkan “kuasa” yang kita miliki untuk mencapai suatu tujuan dan keinginan hati kita.
4) Membasuh hati dan pikiran; Dengan pembasuhan hati dan pikiran oleh kuasa Kristus sebagaimana kita dibasuh dan disucikan melalui darah Kristus. Banyak debu dosa yang beterbangan disekitar kita yang sewaktu-waktu melekat dalam hidup kita, sehingga kita berdosa setiap waktu. Oleh sebab itu kita harus mau membasuh atau menyusikan diri kita dengan menerima kuasa pengampunan Kristus. Dan kita harus ingat pembasuhan dan pembersihan diri yang lebih kita kenal hidup dalam kekudusan tidak dapat kita terima tanpa mengandalkan kuasa Kristus.
5) Tangan yang ringan menolong. Hal pembasuhan yang dilakukan Yesus adalah jiwa seorang pelayan yang dengan ringan tangan mau menolng dan melakukan pekerjaan yang dianggap hina oleh dunia ini, namun sangat berarti bila kita mau menyingsingkan lengan kita dan siap sedia untuk memberikan pertolongan. Yesus rela memberi pelayanan dengan setulus hati. Apakah kita juga rela melakukan yang dipandang dunia hina bagi kebaikan dan menolong orang lain ? (Flp.2:5)
6) Teladan Kristus. Apa yang diberikan dan diperlihatkan Yesus adalah sebuah teladan yang baik yang perlu dan harus ditiru serta dilakukan oleh setiap orang yang percaya kepadaNya. Teladanapakah yang dapat kita contohkan dan kita berikan bagi orang-orang di sekitar kita ? Tuhan Yesus tidak hanya memakai kata-kata untuk mengajar murid-murid-Nya, tetapi Ia mengajar murid-murid-Nya melalui seluruh kehidupan-Nya. Murid-murid-Nya bukan hanya bertemu Tuhan Yesus saat Tuhan Yesus mengajar, melainkan mereka terus-menerus bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Mereka melihat saat Tuhan Yesus melayani masyarakat umum dan mereka juga melihat Tuhan Yesus dalam kehidupan sehari-hari. Para murid Tuhan Yesus bukan hanya belajar dari apa yang dikatakan Tuhan Yesus, tetapi mereka juga belajar dari apa yang dilakukan Tuhan Yesus dan dari gaya hidup yang dijalani Tuhan Yesus. Tuhan Yesus mengajar di sinagoge (tempat ibadah orang Yahudi), tetapi ia juga mengajar di alam terbuka. Dalam bacaan hari ini, Tuhan Yesus mengajar murid-murid untuk melayani orang lain dengan mempraktikkan sendiri cara melayani dengan mencuci kaki murid-murid-Nya.
Sebagai majelis gereja, pengurus komisi, orang tua Kristen, guru sekolah Kristen, guru sekolah minggu, atau berbagai posisi kepemimpinan yang lain, apakah Anda telah menjadi teladan? Apakah cara Anda bersikap dan bertindak layak untuk ditiru oleh orang-orang di sekitar Anda? Apakah Anda menguatkan kata-kata Anda dengan perbuatan Anda? Apakah Anda bukan hanya memberi instruksi, melainkan juga memberi teladan dalam kerendahhatian dan dalam sikap melayani? Apakah Anda bisa memandang kepentingan orang-orang di sekitar Anda sebagai lebih penting daripada kepentingan Anda sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar