Senin, 19 April 2010

Renungan Minggu Miserikordias Domini, 18 April 2010

Bersyukur Pada ALLAH
(LUKAS 17:11 – 19)
Pernahkah saudara menyaksikan film Ben-Hur yang berhasil memenangkan 11 Academy Awards? Film Ben-Hur sebenarnya didasarkan pada novel General Lew Wallace tahun 1959. Tokoh utama Ben-Hur diperankan oleh Charlton Heston. Kisah Ben-Hur merupakan film yang menggambarkan pula keadaan orang sakit kusta pada zaman Kristus. Para penderita sakit kusta pada zaman itu dikucilkan oleh masyarakat Israel. Penyakit kusta oleh umat Yahudi dianggap bentuk dari murka Allah. Karena itu penyakit kusta selain menajiskan si pasien, juga menajiskan orang-orang yang bersentuhan dengan diri mereka (Im. 13:3). Dalam dunia modern, penyakit /kusta lepra yang juga disebut Hansen's Disease. Penyebab penyakit kusta sebenarnya adalah bakteri Mycobacterium leprae. Di Eropa pada waktu Abad Pertengahan (5-15 M), orang-orang yang mengidap kusta/lepra dinyatakan telah mati, dan mereka diusir keluar sesudah disampaikan kesaksian dari orang-orang yang menguburnya dan juga setelah dilaksanakan pemakaman simbolis. Kemudian para penderita kusta tersebut dikurung atau dipaksa untuk menggelandang menjadi pengemis agar mereka dapat bertahan hidup. Mereka benar-benar dikucilkan dari pergaulan masyarakat luas; dan apabila keluar bertemu dengan anggota masyarakat, maka mereka harus membunyikan bel atau memberi tanda dengan menepuk-nepuk tangannya. Karena itu seorang penderita kusta dari zaman ke zaman sering mengalami penderitaan yang sangat kompleks, yaitu:
a. Penderitaan fisik karena sedikit demi sedikit anggota tubuh khususnya jari-jari kaki dan tangan dapat terlepas setiap saat tanpa mereka ketahui.
b. Mereka harus dikucilkan dari pergaulan masyarakat luas, sehingga kehilangan komunikasi dan keakraban dengan orang-orang yang semula sangat dekat dan mengasihi diri mereka.
c. Kehilangan harapan dan masa depan yang cerah karena mereka merasa hidup mereka tidak lagi berguna, bahkan diri mereka dianggap najis. Ke mana mereka pergi mereka hanya boleh berteriak memberi tanda kepada orang-orang di sekitarnya: “najis, najis!”
d. Keadaan sakit mereka dianggap pula sebagai bentuk hukuman dan murka Allah.

Namun mereka sebagai sesama penderita penyakit kusta justru memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Hubungan mereka menjadi sangat akrab dan dapat saling berkomunikasi secara terbuka. Mereka merasa dirinya senasib dan sepenanggungan. Keadaan sakit dan derita mereka dapat menyatukan mereka untuk saling menopang dan karena itu di antara mereka dapat tercipta suatu solidaritas yang tinggi. Itu sebabnya di Luk. 17:12 disebutkan bahwa Tuhan Yesus didatangi oleh kesepuluh orang yang berpenyakit kusta. Kesepuluh orang kusta tersebut menemui Kristus ketika Ia baru saja memasuki suatu desa. Walau mungkin Kristus waktu itu masih lelah dan belum dapat beristirahat, kesepuluh orang kusta tersebut secara bersengaja menemui Kristus. Mereka sebagai suatu kelompok yang menderita dan tersisih menaruh harapan besar untuk memperoleh pertolongan dan kesembuhan dari Kristus. Sebagaimana kelaziman zaman itu kesepuluh orang kusta tersebut tidak berani mendekat kepada Kristus dan para muridNya. Mereka hanya berdiri agak jauh karena hukum Taurat melarang mereka untuk bersentuhan dengan anggota masyarakat. Hukum Taurat di Im. 13:46 berkata:”Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya”.
Dari tempat yang agak berjauhan, mereka menyampaikan permohonan untuk mendapat belas kasihan Kristus: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Kesepuluh orang kusta tersebut memanggil dan menyapa Yesus dengan sebutan “guru” (epistata). Makna sebutan “guru” yang berasal dari kata “epistata” (epistata), memiliki pengertian: seorang yang sempurna, tuan, seperti seorang raja atau panglima militer (bandingkan II Raj. 25:19). Respon Kristus terhadap seruan kesepuluh orang kusta itu disebutkan “Lalu Ia memandang mereka”. Bukankah kesaksian ini mau menyatakan bahwa yang dipandang atau yang dipedulikan oleh Tuhan hanyalah mereka yang mau merendahkan diri dan mengharap belas-kasihanNya? Mzm. 34:16-17 berkata: Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi”.
Cara Tuhan Yesus menyembuhkan kesepuluh orang sakit kusta itu sebenarnya tidak lazim. Dia tidak terlebih dahulu menyatakan kesepuluh orang sakit kusta tersebut sembuh, tetapi yang Dia katakan adalah: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam”. Di Luk. 5:12-16 mengisahkan seorang kusta yang segera disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Di Luk. 5:14 berkata: “Lalu Yesus mengulurkan tanganNya, menjamah orang itu, dan berkata: Aku mau, jadilah engkau tahir” (bandingkan Luk. 5:25, 6:10, 7:14, 8:54, dan 7:7-10). Tetapi dalam kasus sepuluh orang sakit kusta itu sama sekali Tuhan Yesus tidak disebutkan Dia mengulurkan tangan, menjamah dan menyatakan mereka telah sembuh. Dia hanya menyuruh mereka untuk menghadap imam. Padahal orang-orang yang sakit kusta pada saat pergi menghadap imam seharusnya dalam keadaan tahir dan sembuh dari sakitnya (Im. 14:2-3). Namun kesepuluh orang sakit kusta itu mau percaya akan perkataan Kristus. Mereka segera pergi menghadap imam untuk memeriksa keadaan sakit mereka, walaupun saat itu mereka belum melihat tanda atau bukti di tubuhnya bahwa mereka layak untuk diperiksa oleh imam. Kasus kesepuluh orang sakit kusta itu justru menonjolkan tindakan iman yang tanpa syarat. Walaupun mereka belum sembuh dari penyakitnya, mereka telah percaya akan perkataan Tuhan Yesus.
Pada saat kesepuluh orang kusta itu dalam perjalanan ke tempat imam, ternyata mereka mengalami penyembuhan dari sakitnya. Tampaknya kesepuluh orang sakit kusta tersebut belum terlalu jauh pergi. Dengan keadaan sakit mereka, kesepuluh orang kusta tersebut tidak mungkin dapat berjalan cepat. Lebih tepat, ketika mereka telah melangkah berjalan beberapa langkah tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka telah sembuh. Karena itu penggunaan kata “en tooi hupagein” yang berarti: baru saja berjalan pergi. Pemulihan kesepuluh orang kusta tersebut terjadi karena sikap ketaatan dan iman terhadap Kristus. Sikap mereka mengingatkan kita kepada sikap Naaman, panglima raja Aram yang sakit kusta, yang mana akhirnya dia mau menuruti perkataan nabi Elisa untuk mandi di sungai Yordan (II Raj. 5:9-14). Nabi Elisa menyuruh Naaman: “Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir”. Ketika Naaman akhirnya taat melakukan apa yang diperintahkan oleh nabi Elisa, maka tahirlah dia dari penyakit kustanya.
Saat ini penyakit lepra telah menyebar ke seluruh dunia, utamanya di daerah tropis. Tetapi 95 % penyakit lepra hanya di 11 negara. India dan Brasil adalah memiliki jumlah penderita penyakit kusta yang terbesar. Tahun 1985 World Health Organization (WHO) mencatat ada 5,4 juta penderita kusta dan diperkirakan 10 sampai 12 juta tersebar di berbagai penjuru dunia. Tahun 2000, di sana terdapat 680.000 kasus yang tercatat dan diperkirkan 1,6 juta kasus di berbagai tempat. Pada zaman sekarang pengobatan penyakit lepra telah berkembang pesat. Penderita lepra umumnya diberi obat yang disebut promin yang telah dikembangkan sekitar pertengahan tahun 1940 oleh seorang ahli ilmu pengetahuan dari Amerika Srikat di Carbille, Louisiana.
Selaku gereja kita dipanggil oleh Tuhan untuk peduli dan memberi pemulihan kepada mereka yang tersisih, tanpa daya, dan kerapkali pula mereka menjadi korban tekanan ekonomis, budaya, etnis, ideologi dan politis. Di lain pihak mungkin secara ekonomis di antara mereka terdapat orang-orang yang tidak berkekurangan secara ekonomis, tetapi mereka seringkali mengalami kekosongan spiritual. Mereka juga membutuhkan uluran tangan, empati, kasih dan daya tanggap gereja agar mereka boleh berjumpa dengan Kristus dan menemukan makna hidup.
Secara eksplisit Injil Lukas menyebut identitas orang kusta yang mengucap syukur tersebut adalah seorang Samaria. Ini berarti sembilan orang kusta yang tidak kembali mengucap syukur dan memuliakan Allah adalah orang-orang Israel yang menganggap dirinya sebagai umat pilihan Allah. Jika demikian, apakah kita yang telah dipilih oleh Allah di dalam Kristus juga bersedia menyatakan sikap hidup yang terus memuliakan namaNya dengan bersyukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada kita? Ataukah kita setelah memperoleh apa yang telah kita cita-citakan, kita segera pergi meninggalkan Dia dan tidak mengucap syukur atas kebaikan dan kemurahanNya? Pembinaan jemaat tidaklah cukup mengajar anggota jemaat untuk memiliki iman, tetapi apakah mereka juga mampu beriman dengan memuliakan Allah dalam seluruh aspek hidup mereka.


Jamita Epistel Minggu EXAUDI (Sai tangihon ma soarangku, Ale jahowa- Pslm.27:7)– 12 Mei 2024

Hatuaon ni Halak Partigor     (Kebahagiaan Orang Benar) Mateus 13 : 10  – 17   1)       Hamuna nahinaholongan dibagasan Kristus Jesu...