Senin, 26 April 2010

Renungan Hari Selasa, 27 April 2010

Kasih Bapa Penebus
Yesaya 63 : 16
Bukankah Engkau Bapa kami? Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami. Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; nama-Mu ialah "Penebus kami" sejak dahulu kala.
Tuhan mengikat perjanjian dengan Abraham, melalui perjanjian itu diaturlah hak dan kewajiban dari Abraham demikian juga Tuhan. Perjanjian itu memberi kepastian dan jaminan bagi iman Abraham. Dalam perjanjian itu Allah menyatakan banyak hal yang akan dilakukan bagi Abraham, dan untuk Abraham, Allah hanya meminta supaya Abraham hidup dengan tidak bercela di hadapan Tuhan, yang artinya adalah sempurna. Tidak bercela, berbicara tentang kesungguhan hati atau ketulusan hati. Untuk dapat hidup dengan tidak bercela, maka Abraham harus dengan tulus hati mengikut Tuhan. Dia harus percaya Tuhan sepenuhnya, baik pada FirmanNya, maupun pada JanjiNya. Menjadi Bapa dari segala bangsa, tentu tidak bisa dikerjakan oleh manusia yang terbatas, hanya Tuhan yang mempunyai kuasa yang tidak terbatas yang dapat melakukannya. Karena itu tidak ada yang bisa dilakukan oleh Abraham, kecuali hidup dalam perjanjian, yaitu hidup dengan tidak bercela dihadapan Tuhan, supaya Tuhan dapat leluasa bekerja dalam hidup Abraham.
Kalau kita ingin, janji Tuhan digenapi dalam hidup kita, maka hiduplah dengan tidak bercela dihadapanNya.
Begitu banyak gambaran kasih karunia Allah bagi manusia, dan reaksi kita dalam menerima kasih karunia itu. Pengampunan adalah satu dari sekian berkat yang diberikan Bapa kepada anak-anak-Nya. Ia ingin agar kita mendapatkan yang terbaik yang Ia miliki. Allah membuktikan kasih-Nya dengan mengirim Anak yang sangat dikasihiNya agar kita bisa menjadi anak-anak-Nya. Dan Allah menerima kita sebagai anak-anakNya tanpa menghakimi, dan justru merancangkan yang terbaik bagi kita.
Kalau kita cermati peran pria sebagai seorang “bapa” dianggap superior, maka para pria justru kehilangan kemampuan utamanya untuk memerankan “bapa” dalam arti yang positif dan konstruktif. Mereka tidak dapat memerankan fungsi atau perannya sebagai seorang bapa dengan penuh kasih. Akibatnya cukup banyak para bapa yang mudah menyakiti hati istri dan anak-anak mereka. Mereka menerapkan sikap otoriter dan kadang-kadang menggunakan cara yang keras untuk mengatur kehidupan keluarga atau orang-orang di tempat pekerjaannya. Makna peran seorang “bapa” sering diidentikkan dengan sikap “maskulin” yang konotasinya menunjuk sikap kelelakian yang kasar, tangguh, kejam dan selalu mampu memaksakan kehendak. Padahal arti seorang “bapa” tidaklah demikian. Karena dalam diri seorang “bapa” tersirat suatu model dari ketokohan yang dilandasi oleh kebijaksanaan, intelektualias dan keteladanan moral. Itu sebabnya gelar “bapa” dalam Alkitab kemudian dikenakan kepada sesuatu yang ilahi, yaitu Allah. Secara khusus dalam pengajaran Tuhan Yesus, Allah dipanggil dengan “bapa” (Abba).
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota jemaat juga dipanggil untuk menjadi seorang bapa yang mampu bersikap mandiri dan bertanggungjawab. Kita masih menjumpai para bapa di kalangan anggota jemaat yang kurang bertanggungjawab, sehingga mengabaikan upaya untuk memenuhi kebutuhan para anggota keluarganya. Bahkan tidak jarang kita jumpai para bapa di kalangan anggota jemaat yang malas bekerja. Akibatnya istri mereka yang harus menggantikan peran sebagai pencari nafkah. Tampaknya para bapa tersebut telah mengembangkan kebiasaan yang buruk sejak mereka masih muda, sehingga mereka tidak pernah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bekerja mencari nafkah.
Bagaimana kita saat ini ketika menanggapi kasih karunia Allah Bapa. Ada diantara kita yang menjadi pemberontak dengan melakukan hal-hal yang buruk. Ada juga yang menjadi pemberontak, karena melakukan hal-hal yang baik, dan bermegah di dalam perbuatan baik itu. Betapa menyedihkan jika seorang bapa, secara lambat laun tidak lagi mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, karena ia secara diam-diam mencintai hal-hal yang bukan Tuhan. Betapa menyedihkan jika seorang pelayan Tuhan secara lambat laun menjadi dingin di akhir hidupnya dan tidak bernyala-nyala lagi melayani Tuhan.
Kasih seorang Bapa pada Anak-Nya yang telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang lain. Dan karena kasih Bapa itu, siapa yang menerima Anak-Nya akan menjadi ahli waris-Nya dan menerima seluruhnya.



Jamita Epistel Minggu XXIII D.Trinitatis – 3 Nopember 2024

Manghaholongi Tuhan Debata Dohot Dongan Jolma  Mengasihi Tuhan Allah Dan Sesama Manusia  5 Musa 6: 1 – 9 / Ulangan.   a)        Huri...