Pengampunan Kristus
Lukas 7 : 36 -50
Lukas 7 : 36 -50
Seberapa besar pengampunan yang telah saya terima? Itu sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya malam ini. Saya menyadari masa lalu saya yang jauh dari baik, dan rasanya semua sudah saya bereskan di hadapan Tuhan sendiri. Namun tetap saja pertanyaan menggelitik ini muncul di saat saya sedang bersiap-siap tidur. Saya pun teringat pernah bertemu dengan beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka merasa tidak lagi punya kesempatan untuk mendapat tempat di surga. "dosa-dosaku sudah terlalu banyak.... tidak mungkin lagi ada pengampunan yang layak bagiku.." demikian kata seorang wanita malam pada suatu kesempatan ketika bertemu dengan saya sekian tahun yang lalu. Atau dalam keadaan bercanda, seorang teman pernah berkata: "udah tanggung... mau bertobat juga percuma, ya sekalian saja lah.." Begitulah terkadang manusia sulit menangkap konsep pengampunan yang disediakan Tuhan pada manusia. Maka pertanyaan yang muncul malam ini mungkin menjadi pertanyaan banyak orang. Seberapa besar batas maksimal pengampunan dari Tuhan? Sampai titik mana Tuhan tidak lagi sanggup atau bersedia mengampuni? Dan.. malam ini saya mendapat jawaban lewat ayat yang saya ambil dari sebuah perikop dalam Lukas 7.
Lukas 7:36-50 berbicara mengenai kisah Yesus yang diurapi oleh perempuan berdosa. Pada suatu hari, Simon orang Farisi mengundan Yesus untuk makan di rumahnya. Yesus pun datang. Di kota itu ada seorang perempuan yang berkubang dalam lumpur dosa. Ketika ia mendengar kedatangan Yesus ke rumah Simon, dia pun datang membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Apa yang ia lakukan saya anggap mengharukan. Dia mendekati Yesus dari belakang, lalu menangis hingga membasahi kaki Yesus dengan air matanya. Menyadari itu, ia pun menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Lalu ia mencium kaki Yesus dan meminyaki dengan minyak wangi yang sudah ia bawa. Melihat kejadian itu, Simon orang Farisi pun bergumam dalam hatinya. Katanya: "Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa." (ay 39). Dalam bahasa Inggrisnya lebih tajam lagi, dikatakan bahwa perempuan itu adalah "a notorious sinner,a social outcast, devoted to sin." Lalu Yesus memanggil Simon dan memberi sebuah perumpamaan. Ada dua orang yang berhutang. Yang satu berhutang 500 dinar, sedangkan satunya "hanya" 50 dinar. Karena tidak sanggup membayar, orang yang dipiutangi memberi pengampunan, menghapuskan hutang keduanya. Yesus bertanya: "Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?" (ay 42). Dan demikian jawaban Simon: "Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya." (ay 43). Benar. Apa inti pertanyaan Yesus? Mari kita baca penjelasan dari Yesus. " Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi." (Ay 44-46). Dan kita sampai pada kesimpulan: "Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih." (ay 47). Dan wanita yang dianggap "notorious sinner, devoted to sin" itu pun diampuni. "Lalu Ia berkata kepada perempuan itu: "Dosamu telah diampuni...Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (ay 48,50).
Pertanyaan yang kerap kali ditanyakan adalah, “Bagaimana kalau saya berdosa dan meninggal sebelum saya sempat untuk mengakui dosa tsb. kepada Allah?" Pertanyaan lain yang kerap ditanyakan adalah, "Apa yang terjadi kalau saya berdosa, namun lupa, tidak pernah mengakuinya kepada Allah?” Kedua pertanyaan ini berlandaskan asumsi yang keliru. Keselamatan bukan persoalan orang-orang percaya berusaha mengakui dan bertobat dari setiap dosa yang mereka perbuat sebelum mereka meninggal dunia. Keselamatan bukanlah berdasarkan apa seorang Kristen sudah mengakui dan bertobat dari setiap dosa atau tidak. Ya, kita mesti mengakui dosa kita kepada Allah begitu kita menyadari bahwa kita telah berdosa. Namun kita tidak harus selalu meminta Allah untuk mengampuni kita. Ketika kita percaya pada Yesus Kristus untuk keselamatan kita, SEMUA dosa kita diampuni. Itu meliputi masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, besar atau kecil. Orang-orang percaya tidak harus terus menerus mohon ampun atau bertobat demi mendapatkan pengampunan dosa. Yesus sudah mati untuk membayar hukuman dari semua dosa-dosa kita, dan ketika dosa-dosa itu diampuni, semuanya diampuni (Kolose 1:14, Kisah 10:43).
Apa yang kita perlu lakukan adalah mengakui dosa kita: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9). Harap perhatikan bahwa ayat ini tidak mengatakan minta pengampunan dari Allah. Kitab Suci tidak pernah menginstruksikan orang-orang yang percaya dalam Kristus untuk minta pengampunan Allah. Apa yang 1 Yohanes 1:9 katakan kepada kita adalah "mengakui" dosa kita kepada Allah. Kata "mengakui" berarti "sepakat." Ketika kita mengakui dosa kita kepada Allah, kita sepakat dengan Allah bahwa kita salah, bahwa kita sudah berdosa. Melalui pengakuan dosa Allah terus menerus mengampuni kita berdasarkan fakta bahwa Dia "setia dan adil." Bagaimana Allah “setia dan adil?" Dia setia melalui pengampunan dosa, Dia sudah berjanji untuk melakukan hal itu bagi semua yang menerima Kristus sebagai Juruselamat. Dia adil melalui menerapkan pembayaran Kristus pada dosa-dosa kita, mengenali bahwa dosa-dosa kita telah ditebus.
Yesus datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita, baik besar maupun kecil. Dia disiksa, dipaku dan mati di kayu salib untuk sebuah karya penebusan luar biasa. Sebesar apapun dosa kita, ketika kita datang padaNya dengan hati yang hancur, hati yang remuk, tersungkur di kakiNya mengakui segala dosa-dosa yang telah kita perbuat, pengampunan pun segera Dia sediakan bagi kita. Perkataan yang sama akan Yesus berikan pada kita juga. "Dosamu telah diampuni...Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" Haleluya! Semakin besar dosa kita, semakin besar pula penghargaan akan sebuah pengampunan. Sebesar apa dosa anda yang anda rasakan memberatkan hidup anda hari ini? Anda merasa Yesus tidak berkenan lagi mengampuni? Salah. Dia selalu rindu untuk mengampuni kita, apapun latar belakang kita sebelumnya. Orang yang menyadari dan mengakui dosa-dosaNya sudah diampuni, dan penghargaan akan pengampunan itu akan berbuah kasih yang besar pula pada sesama. Lihat ayat berikut ini: "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Efesus 4:32). Makna ayat tersebut bisa memiliki efek yang jauh lebih besar bagi mereka yang sudah ditebus dari dosa-dosa yang mungkin bagi manusia tidak terampuni. Yang diperlukan adalah pengakuan kita dan pertobatan kita, disertai sebuah komitmen untuk tidak lagi mengulangi hal yang sama. Hati yang remuk dan hancur jika kita bawa ke hadapan tahta Allah akan menjadi sebuah korban sembelihan bagi Dia. "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." (Mazmur 51:19). Sukacita sejati adalah mengakui betapa buruknya dan besarnya dosa-dosa kita lalu membandingkannya dengan sebesar apa kita telah diampuni. Maka tidak perduli sebesar apa dosa yang membelenggu anda hari ini, percayalah bahwa pengakuan anda akan membawa anda pada sebuah pengampunan total dari Tuhan yang begitu mengasihi anda. Miliki sukacita sejati hari ini juga! Lepaskan diri anda dari belenggu dosa hari ini juga, ketahuilah bahwa pengakuan anda dihadapanNya akan berbuah sebuah pengampunan penuh
Pertanyaan Petrus kepada Tuhan Yesus, yaitu: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" berlatar-belakang dari pengajaran Tuhan Yesus tentang menyikapi saudara kita yang telah berbuat dosa. Di Mat. 18:15-17 Tuhan Yesus mengajar bagaimana sikap kita menghadapi saudara yang berbuat dosa dengan menegur dia di bawah empat mata, dan jika tidak mau bertobat maka kita harus membawa 2-3 orang saksi. Lalu jika dia tetap tidak mau bertobat, maka kita dapat membawa perkara tersebut kepada jemaat. Atas dasar pengajaran Tuhan Yesus tersebut gereja kemudian mengatur hukum tentang prosedur dan pemberlakuan penggembalaan khusus. Namun kita selaku gereja sering melupakan bahwa pengajaran Tuhan Yesus tersebut harus dipahami dalam konteks pengampunan yang tanpa batas. Pengampunan bukan hanya diberikan sebanyak 3 kali saja, yaitu dalam tingkatan “di bawah empat mata” lalu naik ke tingkat “membawa 2-3 orang saksi” dan terakhir “membawa persoalan kepada jemaat”. Saat Petrus mengajukan pengampunan sebanyak 7 kali sebenarnya telah sangat ideal. Bukankah di kitab Amos menyatakan: "Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku: Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut” (Am. 2:6)? Dalam hal ini Allah menetapkan hukuman dan tidak mengampuni umat Israel karena mereka telah melakukan 3-4 kali kesalahan. Kalau Allah menghukum manusia karena telah 3-4 kali melakukan kesalahan, maka ide untuk mengampuni sebanyak 7 kali bukankah merupakan tingkat pengampunan yang sangat sempurna? Tetapi ternyata Tuhan Yesus menjawab pertanyaan Petrus secara mengejutkan: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Tuhan Yesus bukan menghendaki pengampunan sebanyak 3-4 kali saja. Dia juga menolak batasan pengampunan hanya sampai 7 kali. Tetapi Tuhan Yesus menghendaki suatu kualitas pengampunan yang tanpa batas.
Kegagalan kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita disebabkan karena kita belum mengalami makna pengampunan Allah yang menyeluruh kepada diri kita, dan juga pengampunan diri kita terhadap diri sendiri. Bukankah kita sering menghukum dan membenci diri kita sendiri? Dengan kata lain kita sering merasa berada di posisi orang yang sedang terhukum. Seseorang yang sedang merasa dirinya “terhukum” dan miskin dalam pengampunan, maka dia juga tidak pernah berhasil mengampuni orang lain. Tepatnya seseorang yang belum mengalami totalitas kemurahan hati yang memulihkan tidaklah mungkin dapat memaafkan sesama yang bersalah. Dalam situasi demikian kita sedang dibelenggu oleh perasaan sakit hati, kecewa, terluka, merasa dikhianati dan diperlakukan secara kejam/tidak adil. Sehingga saat itu kita tidak bersedia membuka suatu kemungkinan apapun untuk memaafkan atau mengampuni. Hati kita secara total sering dikuasai oleh perasaan benci, amarah dan dendam. Namun saat kita mau membuka diri untuk melihat seluruh anugerah pengampunan Allah yang pernah kita kecap, khususnya pengampunan Allah di dalam penebusan Kristus maka ruang hati kita akan dipenuhi oleh totalitas kemurahan Allah yang memulihkan. Seluruh hutang dosa kita yang begitu besar dan tak terbayarkan telah diampuni oleh Tuhan, dapat menjadi dasar spiritualitas kita untuk mengampuni orang yang bersalah terhadap diri kita. Itu sebabnya saat kita dilukai, kita akan terdorong oleh kasih Kristus untuk makin berbelas-kasihan kepada orang yang telah berlaku jahat kepada kita.Tepatnya kita sering membatasi kasih Kristus yang tak terbatas, sehingga kita gagal untuk menerima orang yang lemah imannya. Itu sebabnya di Rom. 14:1 rasul Paulus berkata: “terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya”. Kesulitan kita untuk menerima orang yang lemah imannya karena kita lebih cenderung untuk menghakimi sesama khususnya orang yang kita anggap bersalah. Ini berarti selama kita masih memiliki kecenderungan untuk menghakimi orang lain, maka kita tidak akan mampu untuk memaafkan atau mengampuni orang yang menyakiti hati kita. Apakah saudara bersedia menerapkan kasih Kristus yang tanpa batas dan tanpa syarat itu?
Lukas 7:36-50 berbicara mengenai kisah Yesus yang diurapi oleh perempuan berdosa. Pada suatu hari, Simon orang Farisi mengundan Yesus untuk makan di rumahnya. Yesus pun datang. Di kota itu ada seorang perempuan yang berkubang dalam lumpur dosa. Ketika ia mendengar kedatangan Yesus ke rumah Simon, dia pun datang membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Apa yang ia lakukan saya anggap mengharukan. Dia mendekati Yesus dari belakang, lalu menangis hingga membasahi kaki Yesus dengan air matanya. Menyadari itu, ia pun menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Lalu ia mencium kaki Yesus dan meminyaki dengan minyak wangi yang sudah ia bawa. Melihat kejadian itu, Simon orang Farisi pun bergumam dalam hatinya. Katanya: "Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa." (ay 39). Dalam bahasa Inggrisnya lebih tajam lagi, dikatakan bahwa perempuan itu adalah "a notorious sinner,a social outcast, devoted to sin." Lalu Yesus memanggil Simon dan memberi sebuah perumpamaan. Ada dua orang yang berhutang. Yang satu berhutang 500 dinar, sedangkan satunya "hanya" 50 dinar. Karena tidak sanggup membayar, orang yang dipiutangi memberi pengampunan, menghapuskan hutang keduanya. Yesus bertanya: "Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?" (ay 42). Dan demikian jawaban Simon: "Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya." (ay 43). Benar. Apa inti pertanyaan Yesus? Mari kita baca penjelasan dari Yesus. " Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi." (Ay 44-46). Dan kita sampai pada kesimpulan: "Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih." (ay 47). Dan wanita yang dianggap "notorious sinner, devoted to sin" itu pun diampuni. "Lalu Ia berkata kepada perempuan itu: "Dosamu telah diampuni...Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (ay 48,50).
Pertanyaan yang kerap kali ditanyakan adalah, “Bagaimana kalau saya berdosa dan meninggal sebelum saya sempat untuk mengakui dosa tsb. kepada Allah?" Pertanyaan lain yang kerap ditanyakan adalah, "Apa yang terjadi kalau saya berdosa, namun lupa, tidak pernah mengakuinya kepada Allah?” Kedua pertanyaan ini berlandaskan asumsi yang keliru. Keselamatan bukan persoalan orang-orang percaya berusaha mengakui dan bertobat dari setiap dosa yang mereka perbuat sebelum mereka meninggal dunia. Keselamatan bukanlah berdasarkan apa seorang Kristen sudah mengakui dan bertobat dari setiap dosa atau tidak. Ya, kita mesti mengakui dosa kita kepada Allah begitu kita menyadari bahwa kita telah berdosa. Namun kita tidak harus selalu meminta Allah untuk mengampuni kita. Ketika kita percaya pada Yesus Kristus untuk keselamatan kita, SEMUA dosa kita diampuni. Itu meliputi masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, besar atau kecil. Orang-orang percaya tidak harus terus menerus mohon ampun atau bertobat demi mendapatkan pengampunan dosa. Yesus sudah mati untuk membayar hukuman dari semua dosa-dosa kita, dan ketika dosa-dosa itu diampuni, semuanya diampuni (Kolose 1:14, Kisah 10:43).
Apa yang kita perlu lakukan adalah mengakui dosa kita: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9). Harap perhatikan bahwa ayat ini tidak mengatakan minta pengampunan dari Allah. Kitab Suci tidak pernah menginstruksikan orang-orang yang percaya dalam Kristus untuk minta pengampunan Allah. Apa yang 1 Yohanes 1:9 katakan kepada kita adalah "mengakui" dosa kita kepada Allah. Kata "mengakui" berarti "sepakat." Ketika kita mengakui dosa kita kepada Allah, kita sepakat dengan Allah bahwa kita salah, bahwa kita sudah berdosa. Melalui pengakuan dosa Allah terus menerus mengampuni kita berdasarkan fakta bahwa Dia "setia dan adil." Bagaimana Allah “setia dan adil?" Dia setia melalui pengampunan dosa, Dia sudah berjanji untuk melakukan hal itu bagi semua yang menerima Kristus sebagai Juruselamat. Dia adil melalui menerapkan pembayaran Kristus pada dosa-dosa kita, mengenali bahwa dosa-dosa kita telah ditebus.
Yesus datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita, baik besar maupun kecil. Dia disiksa, dipaku dan mati di kayu salib untuk sebuah karya penebusan luar biasa. Sebesar apapun dosa kita, ketika kita datang padaNya dengan hati yang hancur, hati yang remuk, tersungkur di kakiNya mengakui segala dosa-dosa yang telah kita perbuat, pengampunan pun segera Dia sediakan bagi kita. Perkataan yang sama akan Yesus berikan pada kita juga. "Dosamu telah diampuni...Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" Haleluya! Semakin besar dosa kita, semakin besar pula penghargaan akan sebuah pengampunan. Sebesar apa dosa anda yang anda rasakan memberatkan hidup anda hari ini? Anda merasa Yesus tidak berkenan lagi mengampuni? Salah. Dia selalu rindu untuk mengampuni kita, apapun latar belakang kita sebelumnya. Orang yang menyadari dan mengakui dosa-dosaNya sudah diampuni, dan penghargaan akan pengampunan itu akan berbuah kasih yang besar pula pada sesama. Lihat ayat berikut ini: "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Efesus 4:32). Makna ayat tersebut bisa memiliki efek yang jauh lebih besar bagi mereka yang sudah ditebus dari dosa-dosa yang mungkin bagi manusia tidak terampuni. Yang diperlukan adalah pengakuan kita dan pertobatan kita, disertai sebuah komitmen untuk tidak lagi mengulangi hal yang sama. Hati yang remuk dan hancur jika kita bawa ke hadapan tahta Allah akan menjadi sebuah korban sembelihan bagi Dia. "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." (Mazmur 51:19). Sukacita sejati adalah mengakui betapa buruknya dan besarnya dosa-dosa kita lalu membandingkannya dengan sebesar apa kita telah diampuni. Maka tidak perduli sebesar apa dosa yang membelenggu anda hari ini, percayalah bahwa pengakuan anda akan membawa anda pada sebuah pengampunan total dari Tuhan yang begitu mengasihi anda. Miliki sukacita sejati hari ini juga! Lepaskan diri anda dari belenggu dosa hari ini juga, ketahuilah bahwa pengakuan anda dihadapanNya akan berbuah sebuah pengampunan penuh
Pertanyaan Petrus kepada Tuhan Yesus, yaitu: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" berlatar-belakang dari pengajaran Tuhan Yesus tentang menyikapi saudara kita yang telah berbuat dosa. Di Mat. 18:15-17 Tuhan Yesus mengajar bagaimana sikap kita menghadapi saudara yang berbuat dosa dengan menegur dia di bawah empat mata, dan jika tidak mau bertobat maka kita harus membawa 2-3 orang saksi. Lalu jika dia tetap tidak mau bertobat, maka kita dapat membawa perkara tersebut kepada jemaat. Atas dasar pengajaran Tuhan Yesus tersebut gereja kemudian mengatur hukum tentang prosedur dan pemberlakuan penggembalaan khusus. Namun kita selaku gereja sering melupakan bahwa pengajaran Tuhan Yesus tersebut harus dipahami dalam konteks pengampunan yang tanpa batas. Pengampunan bukan hanya diberikan sebanyak 3 kali saja, yaitu dalam tingkatan “di bawah empat mata” lalu naik ke tingkat “membawa 2-3 orang saksi” dan terakhir “membawa persoalan kepada jemaat”. Saat Petrus mengajukan pengampunan sebanyak 7 kali sebenarnya telah sangat ideal. Bukankah di kitab Amos menyatakan: "Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku: Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut” (Am. 2:6)? Dalam hal ini Allah menetapkan hukuman dan tidak mengampuni umat Israel karena mereka telah melakukan 3-4 kali kesalahan. Kalau Allah menghukum manusia karena telah 3-4 kali melakukan kesalahan, maka ide untuk mengampuni sebanyak 7 kali bukankah merupakan tingkat pengampunan yang sangat sempurna? Tetapi ternyata Tuhan Yesus menjawab pertanyaan Petrus secara mengejutkan: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Tuhan Yesus bukan menghendaki pengampunan sebanyak 3-4 kali saja. Dia juga menolak batasan pengampunan hanya sampai 7 kali. Tetapi Tuhan Yesus menghendaki suatu kualitas pengampunan yang tanpa batas.
Kegagalan kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita disebabkan karena kita belum mengalami makna pengampunan Allah yang menyeluruh kepada diri kita, dan juga pengampunan diri kita terhadap diri sendiri. Bukankah kita sering menghukum dan membenci diri kita sendiri? Dengan kata lain kita sering merasa berada di posisi orang yang sedang terhukum. Seseorang yang sedang merasa dirinya “terhukum” dan miskin dalam pengampunan, maka dia juga tidak pernah berhasil mengampuni orang lain. Tepatnya seseorang yang belum mengalami totalitas kemurahan hati yang memulihkan tidaklah mungkin dapat memaafkan sesama yang bersalah. Dalam situasi demikian kita sedang dibelenggu oleh perasaan sakit hati, kecewa, terluka, merasa dikhianati dan diperlakukan secara kejam/tidak adil. Sehingga saat itu kita tidak bersedia membuka suatu kemungkinan apapun untuk memaafkan atau mengampuni. Hati kita secara total sering dikuasai oleh perasaan benci, amarah dan dendam. Namun saat kita mau membuka diri untuk melihat seluruh anugerah pengampunan Allah yang pernah kita kecap, khususnya pengampunan Allah di dalam penebusan Kristus maka ruang hati kita akan dipenuhi oleh totalitas kemurahan Allah yang memulihkan. Seluruh hutang dosa kita yang begitu besar dan tak terbayarkan telah diampuni oleh Tuhan, dapat menjadi dasar spiritualitas kita untuk mengampuni orang yang bersalah terhadap diri kita. Itu sebabnya saat kita dilukai, kita akan terdorong oleh kasih Kristus untuk makin berbelas-kasihan kepada orang yang telah berlaku jahat kepada kita.Tepatnya kita sering membatasi kasih Kristus yang tak terbatas, sehingga kita gagal untuk menerima orang yang lemah imannya. Itu sebabnya di Rom. 14:1 rasul Paulus berkata: “terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya”. Kesulitan kita untuk menerima orang yang lemah imannya karena kita lebih cenderung untuk menghakimi sesama khususnya orang yang kita anggap bersalah. Ini berarti selama kita masih memiliki kecenderungan untuk menghakimi orang lain, maka kita tidak akan mampu untuk memaafkan atau mengampuni orang yang menyakiti hati kita. Apakah saudara bersedia menerapkan kasih Kristus yang tanpa batas dan tanpa syarat itu?