Senin, 30 November 2009

Renungan Hari Selasa, 1 Desember 2009

Allah Kepercayaan Kita
Mazmur 71 : 5
"Sebab Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah"

Kepercayaan merupakan satu keyakinan pada sesuatu hingga mengakibatkan penyembahan, sama ada kepada Tuhan, roh atau lainnya. Ketika berbicara kepercayaan, mungkin ada dua hal yang patut diingat.
1. Kepercayaan itu datangnya dari orang lain tetapi alasannya dari kita. Artinya, ada dua pihak yang terlibat di sini. Karena itu sangat mungkin terjadi kasus penyimpangan. Misalnya saja, kita mempercayai orang yang tidak / belum layak dipercaya. Atau juga, kita belum / tidak dipercaya orang lain padahal kita sudah menyiapkan alasan untuk dipercaya. Pada akhirnya orang akan tidak percaya sama kita kalau kita tidak memiliki alasan atau kualifikasi yang layak untuk dipercaya. Sebaliknya, kita akan tetap mendapatkan kepercayaan kalau ternyata kita memiliki bukti-bukti yang layak untuk dipercaya (meski awalnya tidak dipercaya). Prinsip ini tidak bisa berubah. Tehnis sifatnya sementara tetapi prinsip bersifat abadi.
2. Kebanyakan orang sudah mengetahui apa saja yang perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan dan mengetahui apa saja yang perlu dihindari karena akan merusak kepercayaan orang. Tetapi sayangnya hanya sedikit orang yang mau dan mampu melakukannya. Padahal, pada akhirnya kepercayaan itu butuh pembuktian, bukan pernyataan. Sebagai penegas ulang dari apa yang sudah kita tahu.
Ada tiga hal yang kerap menjadi perusak kepercayaan.
a. Malas, setengah-setengah, ogah-ogahan (low commitment) Biasanya, sebelum kita berani melanggar berbagai komitmen dengan orang lain, awalnya kita melakukan pelanggaran itu pada komitmen pribadi. Misalnya, kita punya rencana tetapi tidak kita jalankan. Kita punya target tetapi kita biarkan. Kita punya keinginan memperbaiki diri tetapi yang kita praktekkan malah merusak. Ini semua bukti adanya “gap between the world of word and the world of action” di dalam diri kita, yang merupakan buah dari komitmen yang rendah.

Menurut pengalaman Mahatma Gandhi, efek dari disiplin yang merupakan buah dari komitmen tinggi itu, tak hanya pada satu titik dalam kehidupan kita. Tetapi ia menyebar ke seluruh wilayah. Sebaliknya, efek dari ketidakdisiplinan juga menyebar ke seluruh wilayah, dari mulai hubungan kita ke dalam (intrapersonal) sampai ke hubungan kita ke luar (interpersonal).
b. Keahlian atau kapasitas yang tidak memadai
Banyak yang sepakat mengatakan, kejujuran merupakan pondasi kepercayaan. Ini pasti benar dan sama-sama sudah kita akui sebagai kebenaran. Cuma, ada satu hal yang sering kita lupakan bahwa yang membuat kita menjadi orang yang tidak jujur, bukan saja persoalan komitmen moral, tetapi juga keahlian atau kapasitas personal. Kalau Anda hanya punya pendapatan tetap sebanyak dua juta tetapi Anda harus menanggung kredit perbulan sebanyak lima juta, maka Anda mendapatkan stimuli dan force yang cukup kuat untuk berbohong. Sebagian kita “terpaksa” berbohong bukan karena rusak imannya tetapi karena kapasitasnya belum sampai. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan mengukur kadar diri (self-understanding), pengetahuan-diri (self knowledge) atau kemampuan membuat keputusan yang bagus (the right decision).
c. Kebiasaan Melanggar Kebenaran
Punya kebiasaan melanggar kebenaran yang disepakati serta punya kebiasaan mendewakan “kebenaran-sendiri” yang melawan kebenaran itu, juga bisa merusak kepercayaan. Dalam hal usaha atau kerja sering kita dapati ada orang lebih percaya sama orang lain ketimbang sama keturunannya sendiri karena pelanggaran yang dilakukan. Soal sayang, pasti orang lebih sayang sama keturunannya, tetapi soal percaya, lain lagi. Bahkan tak sedikit penjahat atau koruptor mencari orang lain yang bukan penjahat atau yang bukan koruptor ketika urusannya adalah soal kerja atau menjalankan usaha.
Kepercayaan didapatkan oleh seorang pemimpin karena berbagai hal. Di dalam pelayanan, semakin besar percaya seorang pemimpin pada Tuhan semakin ia mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Ia juga semakin memiliki percaya diri yang besar. Percaya kepada Tuhan bukanlah sekedar paham dan terkesan pada kuasa dan rencana Tuhan. Seorang yang percaya Tuhan berarti orang itu berani mempercayakan diri pada Tuhan. Mempercayakan diri berarti menyerahkan kendali kepadaNya baik untuk masalah jadwal waktu, sumber daya, dana, dan juga untuk proses kerja.
Apakah lawan dari percaya pada Tuhan? Lawannya adalah hidup dalam kecemasan atau ketakutan. Orang yang cemas dan takut, tidak berani mempercayakan diri pada Tuhan walaupun mereka tahu akan keberadaan dan kuasaNya. Hal ini terjadi karena mereka merasa tidak mampu melihat dan memegang Tuhan yangt tidak kelihatan. Selain itu mereka juga takut kalau-kalau keputusan Tuhan tidak searah denagn kepentingan mereka. Karena itu, mereka akan mencari sumber kepastian dan kuasa yang lain. Biasanya hal ini didapatkan pada nama, gelar, pendidikan, atau kekayaan. Namun hanya Tuhanlah letak kepercayaan kita, sebab Dialah sumber kehidupan kita dan pengharapan kita. Ketika semuanya kita rasakan dalam hidup ini adalah kesia-siaan seperti halnya yang diakui oleh Kitab Pengkhotbah sehingga kita akui kuasa Tuhan yang memberikan kita kelegaan dan damai sejahtera. Dialah keselamatan kita sehingga kita mengakui Dialah kepercayaan kita. Amin (EM).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jamita Evangelium Minggu ROGATE (Martangiang) – 5 Mei 2024

Sai Na Manjalo DO Nasa Na Mangido      (Setiap Orang Yang Meminta Akan Menerima) Matius 7: 1 - 11   a)       Huria ni Tuhanta ia Matiu...