Rabu, 31 Maret 2010

Renungan Hari Senin, 29 Maret 2010

Meninggikan Nama Tuhan
Yohanes 3 : 14-15
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal
Setiap orang sebetulnya merindukan bisa hidup bahagia dan terlepas dari segala kesusahan. Rupanya ada begitu banyak cara yang dipikirkan dan dihayati oleh banyak orang untuk bisa terlepas dari segala kesusahan hidup. Ada yang memikirkan dengan cara bercerai dari pasangannya bila hubungan sebagai suami istri sudah dirasa tak memberi kebahagiaan. Ada yang berpikir bikin usaha ini dan itu dan bahkan ada yang memakai cara-cara yang tak baik seperti merampok milik orang lain.
Di harian Kompas yang terbit pada hari Sabtu 21 Maret 2009 dikisahkan dua orang perampok yang membawa lari uang Rp 130 juta di Palembang lalu keduanya tewas ditabrak oleh korbannya sendiri. Dua orang perampok itu pun sebetulnya juga bermimpi ingin hidup bahagia. Mereka berangan-angan bisa mendapatkan uang Rp 130 juta. Hanya sayang cara mereka ingin merasakan kebahagiaan itu tak bisa dibenarkan karena dengan cara merampok.
Sebagai orang Kristiani kita memiliki cara untuk bisa masuk ke dalam kebahagiaan. Cara itu diajarkan oleh Yesus dalam percakapannya dengan Nikodemus. “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15). Yesus memberikan cara supaya kita bisa beroleh hidup yang kekal yakni dengan cara percaya pada Anak Manusia yang ditinggikan.
Mengapa Anak Manusia yang ditinggikan (Yesus yang tersalib) itu yang harus kita ikuti dan percayai supaya kita beroleh hidup yang kekal? Karena melalui salib Yesus itu, kita mengalami secara paling jelas bahwa Allah sungguh mengasihi kita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3: 16).
Memang sebenarnya bukan menjadi suatu keharusan mutlak bagi Kristus untuk menderita di salib bagi kita, namun memang itulah yang dipilih-Nya, dan ini sudah direncanakan-Nya sejak awal mula dunia. Sebab Allah sudah mengetahui segala sesuatunya, bahwa manusia pertama akan jatuh dalam dosa, dosa asal inilah yang akan diturunkan kepada semua umat manusia, dan karena manusia tak dapat menebus dosanya sendiri, maka Allah memutuskan untuk mengutus Putera-Nya sendiri untuk menebus dosa manusia dengan sengsara-Nya di kayu salib. Penderitaan yang tak terlukiskan di kayu salib tersebut adalah bukti kasih Allah yang tiada terbatas, dan juga bukti keadilan yang sempurna, yang menunjukkan kejamnya akibat dosa, yang harus dipikul oleh Kristus, untuk membebaskan kita manusia dari belenggu dosa. Maka walaupun setetes darah-Nya sebenarnya cukup untuk menebus seluruh dosa manusia, namun Yesus justru mau menyatakan yang lebih sempurna dan “superabundant” daripada itu. Sebab Ia mau menunjukkan kasih yang melebihi dari apa yang disyaratkan, kasih yang mengatasi segalanya. Kerendahan hati Yesus yang ditunjukkan-Nya dengan kerelaan-Nya menjadi manusia dan menderita di kayu salib merupakan “obat penawar”/ antidote bagi dosa asal Adam, yaitu kesombongan ingin menjadi/ menyamai Allah. Ketaatan Kristus terhadap kehendak Allah Bapa menawarkan ketidak-taatan Adam kepada Allah (lih. Rom 5:19).


Jamita Evangelium Minggu Advent II – 8 Desember 2024

Pauli  Hamu Dalan Di Jahowa       (Persiapkan Jalan Untuk Tuhan) Jesaya 40 :1 - 5   1)      Huria nahinaholongan dibagasan Jesus Kri...