Menantikan Raja Keadilan
Yesaya 32 : 1 - 8
Dalam kehidupan nyata tidaklah mudah bagi kita untuk menantikan kedatangan Tuhan tanpa terlena. Apalagi ketika kedatangan Tuhan tersebut sesuatu yang belum jelas bentuknya dan sesuatu yang mungkin masih jauh di depan. Ketika kita harus menunggu seseorang dalam waktu yang sangat lama dan tidak terlalu jelas kapan dia datang, kita cenderung menjadi gelisah dan tidak tahan terus menanti. Sebab dapat timbul suatu pertanyaan: “Benarkah dia akan datang?” Apakah penantian yang sedang kulakukan ini tidak sia-sia? Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab maka mulai timbul benih-benih perasaan pesimistis dan ragu-ragu. Dalam situasi yang demikian, kita dapat mudah terlena dan tergoda untuk melakukan berbagai hal yang menyukakan diri. Jadi bagaimanakah sikap kita yang benar dalam menantikan kedatangan Tuhan? Apakah yang harus kita lakukan agar kita tidak terlena dalam hawa-nafsu yang duniawi, sehingga kita dapat menyambut kedatangan Tuhan dan bertanggungjawab kepadaNya? Bagaimanakah kita mengimplementasikan nasihat Tuhan Yesus yang berkata: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat. 24:42).
Kita dapat terlena dalam kehidupan duniawi apabila dalam masa menantikan Tuhan tersebut kita lebih banyak bersikap pasif menunggu, sehingga kita tidak memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan secara bertanggungjawab. Dengan sikap pasif berarti kita belum mengerahkan seluruh kemampuan, talenta dan karunia dari Tuhan secara optimal. Akibatnya seluruh kemampuan, talenta dan karunia dari Tuhan tersebut tidak pernah terasah, tidak terlatih dan tidak siap digunakan sesuai fungsinya, sehingga kita tidak memiliki perlengkapan senjata yang seharusnya untuk menghadapi kuasa kegelapan. Di Rom. 13:12 rasul Paulus memberi nasihat: “Hari sudah malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” Kita sering terlena seperti saat kita sedang tidur di waktu malam, sehingga kita tidak waspada dengan kekuatan dan serangan dari kuasa kegelapan. Dalam hal ini kita melupakan suatu kebenaran teologis bahwa kuasa kegelapan itu justru sangat aktif, mereka selalu dinamis dan penuh strategi untuk melawan dan menghancurkan kehidupan setiap umat percaya(bdk. Ayb. 1:9-12). Kuasa kegelapan dan tentaranya memiliki kemampuan untuk merencanakan atau merancang suatu visi yang jauh ke depan. Mereka mampu mengoperasikan setiap misi penyerangan dengan strategi dan perlengkapan senjata yang handal. Namun pada sisi lain umat percaya sering merasa dirinya kuat, sehingga mereka bertindak ceroboh dan takabur. Karena itulah rasul Paulus mengingatkan agar kita segera bangun dari tidur sebab hari telah siang. Kini saatnya bagi seluruh umat percaya untuk segera menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mereka harus mengenakan perlengkapan senjata terang. Setiap umat percaya dipanggil untuk terus mengasah perlengkapan senjatanya dan melatih dirinya untuk berperang sehingga mereka dapat menang dalam peperangan rohani melawan kuasa kegelapan. Perlengkapan senjata tersebut adalah diri Tuhan Yesus sendiri. Rasul Paulus berkata: “Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya” (Rom. 13:14).
Kita mengenal nama Steve Jobs sebagai seorang pendiri dan CEO komputer dengan merek “Apple”. Kreativitas dan kerja yang excellence dalam diri Steve Jobs sebenarnya dilandasi oleh filosofinya tentang kehidupan dan kematian. Filosofi Steve Jobs adalah: "Jika hari ini adalah hari terakhir hidupku, akankah aku melakukan apa yang bakal aku lakukan biasanya hari ini?" Steve Jobs menghayati dengan sadar bahwwa setiap hari adalah hari terakhr dalam hidupnya. Karena setiap hari adalah hari terakhir, maka dia berupaya untuk melakukan setiap hal setiap hari dengan sungguh-sungguh, bersifat total, sempurna dan berkualitas. Jadi kesadaran akan hal-hal akhir (refleksi atas kematian) mampu memotivasi dan mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang sangat bernilai, excellence dan bermutu di masa kini. Dalam konteks yang hampir sama, Mahatma Gandhi pernah berkata, "Hiduplah seakan kamu akan mati esok, tapi belajarlah seakan kamu akan hidup untuk selamanya". Pemahaman teologis inilah yang seharusnya menjiwai umat percaya saat menghayati makna Minggu Adven I. Karena umat percaya sungguh-sungguh menyadari kedatangan Kristus untuk menghakimi secara tidak terduga, maka umat percaya dipanggil untuk melakukan yang terbaik, terindah dan termulia di setiap masa kini.
Yesus akan datang sebagai Raja atau segala raja dan Tuhan atas segala tuhan. KedatanganNya yang pertama di dunia adalah untuk menebus dosa umat manusia, sedangkan nantinya Dia akan datang untuk menghakimi orang berdosa. Tetapi dikatakan bahwa "...tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri." (Matius 24:36). Ayat ini menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui hari dan saat kedatangan Yesus, bahkan malaikat-malaikat di sorga dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendirilah yang tahu. Yesus mengatakan hal ini dengan tujuan agar para muridNya tidak mempersoalkan kapan Dia akan datang kembali, dengan harapan mereka senantiasa dalam kondisi siap menantikan kedatanganNya.
Kita harus menanti kedatangan Tuhan Yesus dengan tetap melaksanakan semua tugas dan tanggung jawab kita sebaik-baiknya. Walaupun tidak ada seorang pun yang tahu kapan waktu kedatangan Tuhan Yesus, kita harus menghindari sikap tidak percaya dan tidak peduli.Sikap tidak percaya akan terhindar bila kita terus bertumbuh dalam iman. Iman akan membuat kita mempercayai bahwa apa yang dijanjikan Tuhan pasti akan terpenuhi.