Jumat, 12 November 2010

Renungan Hari Jumat, 12 Nopember 2010


Mendidik Kaum Muda
Amsal 22 : 6
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu
Banyak orang tua saat berhadapan dengan anaknya, memposisikan bahwa dia adalah orang TUA dan anaknya masih MUDA. Sehingga timbul 2 kutub posisi yang jauh berbeda. Yang tua merasa banyak pengalaman, banyak mengerti/tahu, dan selalu benar. Yang muda selalu dinilai oleh yang tua, sebagai orang muda yang kurang pengalaman, tidak banyak tau dan sering membuat kesalahan. Sehingga yang muda selalu merasa terhakimi manakala berada di hadapan yang tua. Yang muda berpikir, orangtuanya tidak bisa mengerti apa yang dipikirkannya, apa yang di-mau-i, apa mimpinya; yang boleh jadi kesemuanya itu sangat tidak menarik dari pandangan yang tua.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang selalu menuntut agar orang tuanya dapat menjadi manusia yang sempurna dalam berbagai hal, seperti Ariya Puggala (makhluk suci). Anak-anak selalu menuntut agar orang tuanya berkelakuan baik dan bertutur kata ramah, tanpa pernah mengoreksi dirinya sendiri. Anak-anak selalu melihat sifat-sifat buruk yang dimilikinya oleh orang tuanya, tanpa pernah menyadari bahwa orang tuanya yang belum mencapai kesucian itu masih dapat berbuat salah. Anak-anak selalu mencela dan membenci orang tuanya jika orang tuanya berbuat salah. Tanpa pernah berusaha memberitahu kesalahan orang tuanya dengan cara yang bijaksana. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa orang tuanya dapat berwatak keras itu sesungguhnya karena pengalaman masa lalunya. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya tidak mudah untuk merubah sifat dan watak orang tuanya yang keras itu. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa jika mereka tidak dapat merubah sifat dan watak orang tuanya yang keras itu, maka seharusnyalah mereka merubah pikiranya sendiri.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak menghormati dan tidak patuh kepada orang tuanya. Mereka sering mendelik, menentang, dan membangkang orang tuanya. Mereka datang dan pergi dari rumah tanpa memberitahukan kepada orang tuanya. Mereka pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan kembali sampai jauh malam. Mereka tidak mengacuhkan teguran-teguran dan peringatan-peringatan yang diberikan orang tuanya.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang sukar dididik dan diatur. Mereka keras kepala, malas, dan dungu. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk belajar. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera meniru kebiasaan-kebiasaan jahat tersebut. Mereka menjadi nakal, suka berkelahi, gemar berjudi, tidak perduli lagi pada moral, terjerumus dalam kehidupan seks yang salah, masuk dalam kenikmatan narkotika, ganja, dan sejenisnya. Kemudian, mereka menarik saudara-saudaranya untuk ikut berbuat jahat, sehingga menambah kesedihan ornag tuanya.
  Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai,’ sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
                Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
                  Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim. Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi.
Orang tua yang memiliki keberanian berkata “tidak” telah mempelajari bagaimana mengubah pola perilaku negatif seorang remaja menjadi perilaku yang positif, yang pada gilirannya membangkitkan kembali pengalaman seluruh keluarga. Oleh karena itu, mampu berkata “tidak” sebenarnya berarti memiliki keberanian untuk mengatakan “iya”; terhadap sistem nilai positif yang telah anda rangkul dan Anda harapkan akan dirangkul oleh kelurga Anda.

Jamita Epistel Minggu XXIII D.Trinitatis – 3 Nopember 2024

Manghaholongi Tuhan Debata Dohot Dongan Jolma  Mengasihi Tuhan Allah Dan Sesama Manusia  5 Musa 6: 1 – 9 / Ulangan.   a)        Huri...