Allah Pelindung Yang Setia
Mazmur 68 : 7
Mazmur 68 : 7
Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia, tetapi pemberontak-pemberontak tinggal di tanah yang gundul.
Di Mzm. 68:2,8 menyatakan Allah yang bangkit berperang untuk menghancurkan para musuhNya dengan membawa akibat banyak dari anak-anak kehilangan ayahnya, dan para isteri kehilangan suami serta para wanita kehilangan kehormatannya dan menjadi tawanan; maka mengapa di Mzm. 68:6-7 menyatakan bahwa Allah menyatakan diriNya sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan? Dengan pemahaman tersebut timbul suatu kesan bahwa kesaksian Mzm. 68:6-7 merupakan pada prinsipnya akibat dari tindakan Allah yang berperang menghancurkan para musuhNya sebagaimana telah dinyatakan dalam Mzm. 68:2,8. Atau dengan perkataan lain para anak yatim, para janda dan mereka yang sebatang kara serta menjadi tawanan sebenarnya merupakan akibat dari tindakan Allah memerangi dan membinasakan para musuhNya.
Orang-orang yang telah menjadi anak yatim, para janda dan para tawanan yang sebatang kara di Mzm. 68:6-7 sesungguhnya merupakan para korban dari suatu peperangan; sebab “ayah, suami dan keluarga mereka telah terbunuh akibat perang yang dilancarkan oleh Allah”. Analisis ini sepertinya mau menyimpulkan bahwa Allah sebagai subyek yang menjadi penyebab penderitaan dari para korban perang. Sebab melalui perang yang dilancarkan oleh Allah tersebut telah menimbulkan para anak kehilangan para ayah sehingga mereka menjadi yatim, para isteri kehilangan suami-suami sehingga mereka menjadi para janda, dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena mereka menjadi tawanan atau menjadi orang-orang yang sebatang kara. Jadi karena Allah dianggap sebagai penyebab penderitaan dari para korban perang, maka kini Dia harus bertanggungjawab untuk menjadi: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia”. Apakah ini berarti “moralitas Allah” sebagai penanggungjawab bagi anak yatim, para janda dan para tawanan” dihayati sebagai suatu kompensasi karena tindakanNya yang telah menghancurkan dan membinasakan para musuhNya? Jika benar maka moralitas Allah tersebut bukan lahir dari hakikatNya yang kudus dan penuh kasih. Bukankah Allah yang kudus dan penuh kasih tidak akan pernah membangkitkan perang untuk membinasakan manusia yang dianggap sebagai musuhNya? Sebab para penguasa dunia sepanjang sejarah umumnya juga akan melakukan hal yang sama terhadap para keluarga musuh yang menjadi korban perang.
Tampaknya pemazmur ingat peristiwa pada zaman Nuh yang mana Allah menghukum umat manusia dengan air bah dan juga kehadiran Allah di gunung Sinai dengan guntur dan halilintar. Tetapi pada saat yang sama “hukuman alam” seperti gempa dan hujan yang deras tidak senantiasa berakibat destruktif. Gempa bumi dan hujan yang deras juga dipakai untuk memulihkan keadaan tanah padang gurun yang gersang sehingga mahluk hidup dan orang-orang yang tertindas dapat kembali memperoleh makanan.
Mzm. 68:6-7 jelas menyatakan bahwa Allah akan bangkit berperang untuk melawan setiap musuh-musuhNya yaitu orang-orang yang menindas setiap orang yang lemah dan tertindas. Sebab sebagai Allah yang kudus, Dia akan memposisikan diriNya sebagai pembela dan seorang Bapa yang melindungi setiap umat yang tidak berdaya, kaum marginal, dan minoritas (“sebatang kara”).
Di Mzm. 68:2,8 menyatakan Allah yang bangkit berperang untuk menghancurkan para musuhNya dengan membawa akibat banyak dari anak-anak kehilangan ayahnya, dan para isteri kehilangan suami serta para wanita kehilangan kehormatannya dan menjadi tawanan; maka mengapa di Mzm. 68:6-7 menyatakan bahwa Allah menyatakan diriNya sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan? Dengan pemahaman tersebut timbul suatu kesan bahwa kesaksian Mzm. 68:6-7 merupakan pada prinsipnya akibat dari tindakan Allah yang berperang menghancurkan para musuhNya sebagaimana telah dinyatakan dalam Mzm. 68:2,8. Atau dengan perkataan lain para anak yatim, para janda dan mereka yang sebatang kara serta menjadi tawanan sebenarnya merupakan akibat dari tindakan Allah memerangi dan membinasakan para musuhNya.
Orang-orang yang telah menjadi anak yatim, para janda dan para tawanan yang sebatang kara di Mzm. 68:6-7 sesungguhnya merupakan para korban dari suatu peperangan; sebab “ayah, suami dan keluarga mereka telah terbunuh akibat perang yang dilancarkan oleh Allah”. Analisis ini sepertinya mau menyimpulkan bahwa Allah sebagai subyek yang menjadi penyebab penderitaan dari para korban perang. Sebab melalui perang yang dilancarkan oleh Allah tersebut telah menimbulkan para anak kehilangan para ayah sehingga mereka menjadi yatim, para isteri kehilangan suami-suami sehingga mereka menjadi para janda, dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena mereka menjadi tawanan atau menjadi orang-orang yang sebatang kara. Jadi karena Allah dianggap sebagai penyebab penderitaan dari para korban perang, maka kini Dia harus bertanggungjawab untuk menjadi: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia”. Apakah ini berarti “moralitas Allah” sebagai penanggungjawab bagi anak yatim, para janda dan para tawanan” dihayati sebagai suatu kompensasi karena tindakanNya yang telah menghancurkan dan membinasakan para musuhNya? Jika benar maka moralitas Allah tersebut bukan lahir dari hakikatNya yang kudus dan penuh kasih. Bukankah Allah yang kudus dan penuh kasih tidak akan pernah membangkitkan perang untuk membinasakan manusia yang dianggap sebagai musuhNya? Sebab para penguasa dunia sepanjang sejarah umumnya juga akan melakukan hal yang sama terhadap para keluarga musuh yang menjadi korban perang.
Tampaknya pemazmur ingat peristiwa pada zaman Nuh yang mana Allah menghukum umat manusia dengan air bah dan juga kehadiran Allah di gunung Sinai dengan guntur dan halilintar. Tetapi pada saat yang sama “hukuman alam” seperti gempa dan hujan yang deras tidak senantiasa berakibat destruktif. Gempa bumi dan hujan yang deras juga dipakai untuk memulihkan keadaan tanah padang gurun yang gersang sehingga mahluk hidup dan orang-orang yang tertindas dapat kembali memperoleh makanan.
Mzm. 68:6-7 jelas menyatakan bahwa Allah akan bangkit berperang untuk melawan setiap musuh-musuhNya yaitu orang-orang yang menindas setiap orang yang lemah dan tertindas. Sebab sebagai Allah yang kudus, Dia akan memposisikan diriNya sebagai pembela dan seorang Bapa yang melindungi setiap umat yang tidak berdaya, kaum marginal, dan minoritas (“sebatang kara”).