Selasa, 18 Agustus 2009

RENUNGAN EPISTEL MINGGU XI SETELAH TRINITATIS 23 Agustus 2009


Murah Hati
Lukas 10:25-37
By. Pdt. Eben Ezer Munthe, S.Th
I. Pendahuluan
Secara etnis, orang Samaria adalah penduduk Samaria setelah awal pembuangan orang Israel di Israel (2 Raja-raja 17 dan Yosefus [Ant 9.277–91]). Ketika Asyur mengalahkan Kerajaan Utara (Israel) pada 722 SM, sebagian penduduknya dideportasi, dan orang-orang lain dari Kekaisaran Asyur ditempatkan di Israel. Sargon mengklaim dalam catatan-catatan sejarah Asyur bahwa ia mengangkut 27.290 penduduk dari Samaria, ibukota Israel Utara. Para penduduk yang baru menyembah dewa-dewa mereka sendiri, tetapi ketika di wilayah yang mulanya jarang penduduknya itu merajalela binatang-binatang buas yang berbahaya, mereka meminta kepada raja Asyur untuk mengirimkan para imam Israel untuk mengajar mereka tentang bagaimana menyembah "dewa wilayah itu." Hasilnya adalah sebuah agama sinkretistik – kelompok-kelompok nasional menyembah Tuhan, tetapi mereka juga melayani dewa-dewa mereka sendiri sesuai dengan kebiasaan bangsa-bangsa asal-usul mereka. Sebagian orang Samaria mengklaim sebagai keturunan orang Israel dari Kerajaan Utara yang lolos dari deportasi dan pembuangan. Sebuah studi genetik menyimpulkan dari analisis kromosom-Y bahwa orang Samaria adalah keturunan dari orang Israel (termasuk Kohen, atau para imam), dan analisis DNA mitokondrial menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan dari perempuan-perempuan Asyur dan asing lainnya, hingga praktis menegaskan bahwa orang-orang Samaria adalah keturunan masyarakat lokal maupun asing. (Shen et al, 2004). Agama Samaria adalah agama yang berkaitan dengan Yudaisme dalam segala aspeknya. Agama ini menerima Torah sebagai kitab sucinya, meskipun tidak banyak dari teologi Yahudi yang belakangan. Bait suci mereka terletak di Bukit Gerizim, bukan Yerusalem, dan dihancurkan oleh Yohanes Hirkanus dari kelompok Makabe (Hasmoni) belakangan pada abad ke-2 SM, meskipun keturunan mereka masih beribadah di antara reruntuhan-reruntuhannya. Antagonisme antara orang Samaria dengan orang Yahudi penting untuk memahami cerita-cerita Perjanjian Baru tentang "Orang Samaria yang Baik Hati" dan Perempuan Samaria.


II. Penjelasan
a) Yesus mengisahkan cerita ini kepada seorang ahli Taurat yang menanyakan kepadanya, apa yang harus diperbuatnya untuk mendapatkan hidup kekal. Maka ujar Yesus sambil kata-Nya, "Bahwa adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; maka jatuhlah ia ke tangan penyamun, yang merampas pakaiannya serta memukul dia, lalu pergi meninggalkan dia hampir mati. Kebetulan turunlah dengan jalan itu juga seorang imam; apabila dilihatnya dia, maka menyimpanglah ia melintas dia. Sedemikianpun seorang suku bangsa Lewi, apabila sampai ke tempat itu serta terpandang akan dia, maka menyimpanglah ia melintas dia. Tetapi seorang Samaria, yang sedang berjalan datang ke tempat ia terhantar; apabila terpandang akan dia, maka jatuhlah kasihannya, lalu ia menghampiri dia serta membebatkan lukanya, sambil menuang minyak dan air anggur ke atasnya; setelah itu ia pun menaikkan dia ke atas keledainya sendiri, lalu membawa dia ke rumah tumpangan, serta membela dia. Pada keesokan harinya dikeluarkannya dua dinar, diberikannya kepada tuan rumah tumpangan itu sambil katanya: Belakanlah dia, dan barang apa yang engkau belanjakan lebih daripada itu aku ganti, apabila aku datang kembali."
b) Orang Samaria adalah orang yang dimusuhi dan dibenci oleh orang Yahudi. Karena itu, si korban dalam kisah Yesus ini sama sekali tidak mengharapkan pertolongannya, namun dari ketiga orang yang melihatnya, justru orang inilah yang turun tangan dan bersedia menolongnya. Frase "orang Samaria yang murah hati" menjadi ungkapan sehari-hari bagi seseorang yang bersedia menolong orang lain - bahkan yang tidak dikenal sekalipun tanpa pamrih.
c) Yesus mengakhiri cerita ini dengan bertanya, "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Ahli Taurat itu harus mengatakan, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Dengan kata lain, orang Samaria itu terbukti menjadi seorang saudara bagi orang yang terluka. Dengan nasihat, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Yesus membiarkan ahli Taurat itu pergi. Di dalam perumpamaan ini, digambarkan ada lima orang (para perampok tidak termasuk di dalamnya). Berturut-turut mereka adalah: orang yang dirampok dan terluka; imam; orang Lewi; orang Samaria; dan pemilik penginapan. Fokus dari cerita ini bukan pada orang yang dirampok dan ditinggalkan setengah mati di pinggir jalan, meskipun dia menjadi objek perhatian. Sesudah peristiwa perampokan, pada mulanya dia diabaikan tetapi sesudah itu ia dilimpahi dengan kebaikan. Demikian juga, subjek dari cerita ini sebenarnya bukanlah imam, orang Lewi, atau pemilik penginapan. Tetapi fokus dari cerita ini adalah orang Samaria. Dia adalah pelaku, agen, karakter utama. Karena itu perumpamaan ini disebut perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati dan bukan perumpamaan tentang orang yang dirampok dan terluka. Orang yang terluka adalah figur yang tidak diperlihatkan wajahnya, tidak ada keterangan tentang pekerjaannya, kebangsaannya, agamanya, atau sukunya. Mungkin orang ini tidak dapat diidentifikasikan oleh imam, orang Lewi, dan orang Samaria tanpa pakaiannya. Singkatnya, identitas orang tersebut tidak berarti. Dia telah memainkan peranan sebagai sesama dengan baik dan itu cukup seorang yang rendah hati. Perampok-perampok datang dan pergi. Mereka melakukan kejahatan dan pergi. Karena itu tidak aga gunanya berspekulasi apakah mereka dari anggota sayap kiri Zelot, ataukah mereka menaruh dendam kepada orang itu - bagaimana pun juga, imam, orang Lewi, dan orang Samaria tidak diserang - atau apakah mereka penduduk setempat yang penghidupannya adalah dari merampok musafir-musafir yang malang. Agaknya imam dan orang Lewi sedang dalam perjalanan pulang dari pelayanan Bait Suci di Yerusalem. Menurut Hukum Taurat, mereka tidak diperbolehkan menyentuh mayat. Bila mereka melanggar perintah tersebut, mereka akan menyusahkan diri mereka secara sosial (tidak tahir), secara finansial (membayar biaya penguburan), dan secara profesional (tidak bisa mengikuti pelayanan keimaman dan imamat). Tentu saja, orang yang dirampok dan terluka itu tidak mati. Tetapi akankah seorang imam atau seorang Lewi turun dari keledainya, mengambil tongkat, menyodok korban untuk melihat apakah dia masih hidup, dan kemudian melakukan pertolongan pertama? Tidak. Tetapi di dalam kisah ini orang tersebut masih hidup dan karena itu anggota-anggota imam tidak dapat mencari alasan. Kita tidak pernah tahu apakah mereka takut diserang, atau mereka mengeraskan hati, atau percaya bahwa mereka akan mencampuri penghakiman Allah yang telah menimpa seorang berdosa yang tidak patuh, atau sebagai pemimpin-pemimpin agama mereka terlalu sombong untuk membungkuk dan membantu korban yang malang itu. Kenyataannya adalah baik imam maupun orang Lewi tidak menunjukkan belas kasihan. Orang Samaria seperti yang telah digambarkan menemukan tempat yang hangat di hati setiap orang. Dia menjadi orang yang paling disukai di dalam kisah ini. Dia tahu apa yang dia lakukan dan dia melakukannya dengan baik. Perbedaan-perbedaan suku, agama, dan derajat tidak penting baginya. Dia melihat sesamanya yang membutuhkan pertolongan dan dia membantunya. Sebenarnya, orang-orang Samaria bukanlah orang yang paling penuh kasih. Kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi telah meletus dalam banyak cara. Misalnya, kira-kira antara tahun 9 dan 6 SM mereka menajiskan wilayah Bait Allah untuk mencegah orang-orang Yahudi merayakan Paskah. Mereka melakukan ini dengan menyebarkan tulang-tulang manusia di halaman Bait Allah. Di mata orang Yahudi, orang Samaria adalah orang peranakan. Mereka telah menempati tanah Israel selama orang¬orang Yahudi dibuang dan Alkitab mereka hanya terdiri dari lima kitab Musa. Mereka membangun Bait Suci sendiri di atas Gunung Gerizim (Yah 4:20); orang-orang Yahudi menghancurkannya tahun 128 SM. Karena kebencian yang dalam, orang-orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang-orang Samaria . Tetapi musafir ini, yang dikenal melalui pakaian, perkataan, dan sikapnya sebagai seorang Samaria, menghentikan keledainya, membungkuk dengan ramah, dan membantu sesamanya. Dia tidak bertanya apakah korban yang terluka itu orang Yahudi, Romawi, Yunani, atau Siria. Baginya, orang yang telanjang, terluka, dan setengah mati itu adalah saudara yang membutuhkan pertolongan. Dia siap membayar uang yang diperlukan oleh pemilik penginapan untuk merawat orang tersebut di penginapan selama beberapa hari. Orang Samaria ini pasti memberi pakaian juga. Orang Samaria tersebut tidak melakukan perbuatan kasih dan kemurahan atas dasar timbal balik. Dia dapat saja meminta pasien ini membayar kembali jumlah uang yang telah dia keluarkan untuknya setelah dia sembuh. Dia bahkan tidak tahu apakah pasien ini akan mengungkapkan terima kasihnya sesudah dia melihat siapa yang merawat dia. Perbuatan orang Samaria ini menggambarkan pengorbanan yang tulus dalam hal uang, harta milik, resiko kesehatan dan keamanan, dan banyak waktu untuk menunjukkan kasih dan perhatian yang sungguh-sungguh. Dia memenuhi Hukum Emas. Orang terakhir yang disebutkan di dalam perumpamaan ini adalah pemilik penginapan, yang mendapatkan sedikit perhatian. Pemilik penginapan pasti mengenal orang Samaria itu karena sering berkunjung. Hubungan yang dilandasi rasa percaya dan keyakinan timbal balik telah berkembang di antara mereka, yang merupakan kesaksian yang mengesankan dari tindakan moral orang Samaria tersebut. Dia adalah orang yang dapat diandalkan oleh pemilik penginapan. "Rawatlah dia," kata orang Samaria itu, "Dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali." Perkataannya sebaik emas.
III. Renungan
Selama pelayanan-Nya di dunia, Yesus mengajarkan tuntutan yang melampaui Hukum Taurat, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Dalam Khotbah di Bukit, perintah ini tidak berhenti sampai pada kata sesamamu manusia tetapi memasukkan juga kata musuh, "Kasihilah musuhmu" (Matius 5:44; Lukas 6:27). Dalam hal imam dan orang Lewi yang dilukiskan di dalam perumpamaan ini, kata sesama menunjuk kepada seorang Yahudi yang dapat dikenali dengan jelas. Tetapi orang yang tidak dapat dikenali, dirampok, dipukul, telanjang, dan setengah mati, secara sederhana tidak memenuhi syarat sebagai orang Yahudi.

Bagi ahli Taurat yang mengajukan pertanyaan pada Yesus, ini adalah masalah tentang mengetahui di mana harus menarik garis. Dia ingin mengetahui batasan-batasan kasih. Dia ingin menilai dirinya sendiri dan memastikan apakah dia telah memenuhi tuntutan Hukum Taurat. Jika Hukum Taurat dapat digunakan sebagai pagar perlindungan, seseorang dapat hidup dengan damai di dalamnya, di mana segala sesuatu telah dinyatakan dan sudah dikenal dengan baik. Tetapi ketika Hukum Taurat tidak memberikan batasan yang jelas, yaitu "kasihilah sesamamu manusia" yang meliputi juga "kasihilah musuhmu" -, maka suatu wawasan baru muncul berkaitan dengan tuntutan Hukum tersebut. Yesus tidak mengajarkan kisah tentang seorang Yahudi yang menemukan seorang Samaria yang terluka di jalan dan menolongnya dengan membawa dia ke penginapan yang terdekat. Cerita yang demikian dapat menimbulkan reaksi keras, karena orang Yahudi tersebut akan dianggap sebagai seorang pengkhianat terhadap keyahudiannya. Demikian juga, jika Yesus menggunakan tiga serangkai yaitu imam, orang Lewi, dan orang Israel, maka efeknya akan sangat berbeda. Akibatnya akan menciptakan kekontrasan antara imam dengan kaum awam dengan prasangka yang jelas anti imam. Tetapi dengan memperkenalkan seorang Samaria pada persimpangan jalan yang tepat, pendengar akan terkejut dan tidak dapat mengajukan keberatan-keberatan. Orang Samaria itu menunjukkan bagaimana seseorang harus mengasihi sesamanya dan menjadi saudara baginya. Jika ahli Taurat itu memiliki keberatan-keberatan teologis, keberatan-keberatan itu akan gugur ketika cerita itu berkembang. Yesus dapat menunjuk pada orang asing yang hidup di tengah-tengah orang Yahudi dan yang diperlakukan sebagai orang pribumi. Dan Dia dapat menyebutkan orang-orang Yahudi yang bertobat dan orang-orang yang disebut takut akan Allah yang secara teratur hadir dalam pelayanan ibadah di sinagoga. Tetapi orang-orang ini dapat membayar kembali kebaikan yang diberikan kepada mereka. Lagi pula, mereka dianggap sebagai teman dan dalam beberapa hal menjadi anggota dari iman bangsa Yahudi. Tetapi Yesus tidak menaruh perhatian pada kata sesama "Siapakah sesamaku?" - tetapi pada orang yang menunjukkan kasih dan kemurahan. Yang dianggap sebagai sesama ini bukanlah pribadi yang menarik. Di dalam perumpamaan ini dia ditunjukkan sebagai orang yang penuh dengan darah, telanjang, dan setengah mati. Dia tidak dapat mengembalikan usaha kasih, uang dan pakaian. Dia memerlukan pertolongan dan tidak dapat membayar kembali. Menghindari sesama ini berarti mendatangkan murka ilahi, karena perbuatan tersebut bukan hanya merupakan pelanggaran Hukum utama yang kedua tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap Hukum yang pertama. Perumpamaan tentang orang Samaria ini bersifat abadi. Penggantian pekerjaan, kebangsaan, dan suku untuk menyamakan dengan zaman modern, dan tidak ada yang berubah sejak zaman Yesus mengajarkan perumpamaan ini. Karena itu, perumpamaan ini bukan merupakan cerita dari seseorang yang melakukan perbuatan baik seolah-olah dia adalah anggota Pramuka. Perumpamaan ini merupakan tuduhan melawan mereka yang menanam rintangan-rintangan yang tersembunyi supaya dapat hidup dalam kenyamanan. Perintah "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" adalah sebuah perintah yang menjangkau keluar melampaui lingkaran teman-teman dan sesama orang Kristen yang sering kita temui. Perintah ini merupakan panggilan untuk menunjukkan belas kasihan kepada semua orang yang tidak beruntung yang terbaring di jalan ke Yerikho dalam kehidupan manusia. Dan perintah ini merupakan tangisan untuk bangsa-bangsa yang makmur untuk meringankan penderitaan dan kemiskinan yang dialami oleh banyak orang di negara-negara yang sedang berkembang. Para penafsir sejak zaman bapa-bapa gereja mula-mula sampai sekarang ini telah berusaha menafsirkan perumpamaan ini secara simbolis. Variasinya sangat banyak dan kadang-kadang lucu. Penafsiran Augustine yang klasik adalah: orang yang dirampok dan dipukul itu adalah Adam, perampok-perampoknya adalah setan dan malaikat-malaikatnya, imam dan orang Lewi adalah imam dan pelayan dari Perjanjian Lama, orang Samaria adalah Yesus, minyak melambangkan penghiburan dan anggur melambangkan dorongan untuk bekerja, penginapan adalah gereja, dua dinar merupakan perintah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama, sedangkan pemilik penginapan adalah Rasul Paulus. Adalah lazim melihat Yesus sebagai orang Samaria yang murah hati yang merupakan teman dan saudara dari semua orang dari berbagai tingkatan hidup, dari semua bangsa, dan dari semua suku bangsa. Meskipun Lukas sendiri mungkin berpikir demikian ketika dia mencatat perumpamaan ini, dia tidak memberi kita petunjuk sedikitpun bahwa Yesus bermaksud untuk menyampaikan pesan tersebut. Konteks dan teksnya tidak mendukung penafsiran itu. Pesan yang diajarkan Yesus melalui perumpamaan ini diringkas dengan kata yang singkat dan tajam, yang ditujukan kepada ahli Taurat yang menyebabkan timbulnya cerita ini: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Dalam bahasa yang digunakan oleh Yakobus, "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yakobus 1:22).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jamita Minggu Kantate (Endehon hamu ma di Jahowa ende na imbaru) – 28 April 2024

Ingkon Mamujimuji Jahowa do Angka na Usouso Di Ibana  ( Orang Yang Mencari Tuhan Akan Memuji NamaNya) Psalmen 22: 26 – 32     a)  ...