Monang
Jala Hehe Maralohon Hamatean
Psalmen
114 : 1 – 8
a. Ia
Panurat Psalmen 114 on manurathon hamamasa ni bangso Israel malua sian
parhatobanon Misir, digombarhon do pangaramotion ni Debata na manjaga i dohot na
paluahon nasida bangsoNa ditingki dina mamolus laut Arung dohot ancaman sian
raja Paraoh. Bangso Israel ndang manahan
di na manaon hamaolon dohot na holsoan umbahen na lupa nasida di huaso
ni Debata na paluahon nasida, i do pe nasida manghilalahon Jahowa na mamunu
buhabaju ni halak misir dohot Israel na so mangoloi hata ni Debata. Gabe
marmungutmungut do nasida dompak si Musa alai ndang diboto nasida na doshon na
marmunggutmungut do nasida dompak Debata, siala ndada sangkap ni si Musa
mamboan nasida sahat tu laut Arung alai sangkap ni Debata do. Ro ma si Musa
mangido pangurupion ni Debata jala ujungna panurat Psalmen 114 manurathon ia
laut i manadingkon bangso Israel i huhut mangalehon dalan na mahiang asa
boluson nasida.
b. Dibagasan
turpuk on dipaboahon do taringot tu batu na koras marmual aek, astuanna lobi
songon i ma hagogoon ni Debata laho marmahani bangsoNa, na so tarpatupa gabe
tarpatupa, ndang adong na so mungkin di angka jolma na olo mangulahon lomo ni
roha ni Debata. Molo olo do hita pinargogoan ni Debata songon bangso Israel i,
naeng ma antusanta aha do na mambahen bangso Israel i sai diramoti Debata, boi
sulingkitonta sian ayat 1-2 di turpukta on. Na dua ayat i paboahon ia bangso
Israel na gabe bagas na badia ni Debata, na gabe parhitean ni Debata, na gabe
inganan ni huaso ni Debata. Naeng ma hita angka na porsea i nian songon i, na
olo mamelehon diri di adopan ni Debata, na olo dipangke Debata gabe ulaulaNa,
na olo gabe inganan parmianan ni Debata (Ptds. Gal.2: 20; Rom 12:1).
c. Molo
tasulingkiti pengalaman ni bangso Israel na sai diramoti Debata mansai uli jala
malungun roha pangaramotionNa tu bangsoNa i sahat tu hita, hape sasintongna
hita angka siihuthon Kristus ingkon tongtong do gok las ni rohanta tu Debata
Ama i. Siala naung dipasaor tu hita TondiNa ima Tondi Parbadia i, jala hita ma
na gabe parmiananNa, gabe ulaulaNa, gabe singkatNa laho mangulahon ulaonNa di
tongatonga portibi on. Haheheon ni Jesus Kristus na gabe sada bukti di hita
angka na porsea naung jaloonta do hamonangan maralohhon angka hamaolon dohot
sumbia ni portibi on nang sibolis pe. Dina tataringoti haheheon ni Kristus (Paskah
I) laho paingothon roha nang haporseaonta, ndang talu halak na porsea i binahen
ni portibi on. Memang molo taparrohahon angka na masa di humaliangta sipata
angka ulaon sibolis i do na sai marhusari dohot na sai manegai angka parsaoran,
manegai angka ulaon, manegai hangoluan di portibi on. Tapamanat ma angka
hajahaton di humaliangta: pemerkosaan, penipuan, fitnah, manangko, pembunuhan,
begal, trafikking (perdagangan manusia), terorisme, penggunaan narkoba dohot
angka na asing. Sai adopanta dope angka ragam ni hamaolon di ngolunta, alai pos
ma rohanta parningotan ari haheheon ni Kristus naeng ma torus mangalehon
semangat perjuangan iman dipardalanan ni ngolunta asa mampu hita manahan sahat
ro diujungna. Amen.
d. Panindangion
Huaso ni Tuhan : Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan
Yesus dalam Film “The Passion Of the Christ”. JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR
BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG
PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG
BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK
AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.
Dalam Thin
Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong
teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh
kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung
dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini
menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk
memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat
untuk memerankannya.
“Saya
terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film
besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama.
Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus
saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada
dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.
Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata
suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak
menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang
terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.
Saat kami
bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan
dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah
dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam
memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik,
bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel
kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin
akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi
akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood. Sebagai manusia biasa saya
menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di
Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan
film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam
bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam
dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film
itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku
juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun,
sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah
terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu
akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena
peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah
kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia
tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya,
mari kita buat film ini!
Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan
karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya
melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan
pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan
saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang
berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak
lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini.
Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan
seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik
yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan
menjadi dasar yang baik dalam diri saya.
Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA
dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera
engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa
pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran
sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi
jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi
seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini saya
telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan
semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di
bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini.
Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah
sesuai kehendakMu.
Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada
bayangan saya: Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan
tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir
tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk
santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan
gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang
digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu.
Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak
kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya
sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa
memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan
tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong
kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa,
mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai
memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka
merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan
saya perawatan medis.
Sungguh saya
merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya
manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan
penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan
film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan
film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan
Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul
salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau
sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib
itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar
bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib
itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil
dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling
mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan
Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu
sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu
waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh
saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan,
bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget
dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian
penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para
kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan
dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas
bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau
menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa
mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar
bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa
saya jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh
depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan
saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya
sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka
menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa
saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua
itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa.
Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia
agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak
bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu,
bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami
penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun
jiwaNya.
Dan peristiwa
terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada
diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan
datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan
pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang
seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas
kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang
paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir
ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa
menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang
(setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun
tidak sadarkan diri.
Yang saya
tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat
saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil
berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil
bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan
berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).
“Apa yang
telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah
menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari
situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah
menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari
peristiwa itu.
Melihat dan
merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau
menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah
Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita
harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus
melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat
padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang
bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus.
Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan
kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat
melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi
sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah
pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu
mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang
terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah
seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai
Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal
awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja,
demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman
yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan
sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan
bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam
pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi
tawaran peran sejak saya memerankan film ini.
Saya harap
mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai
aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan
kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan
peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya
pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam
film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film
itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama
terjadi pada hidup anda. Amin.